Jumat, 01 September 2017

DINASTI UMAYYAH

DINASTI UMAYYAH
Hasil gambar untuk dinasti umayyah
A.     Pendirian Dinasti Bani Umayyah.
1.1.   Asal Mula Dinasti Bani Umayyah.
Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdu Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni keluarga bangsawan, cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra. Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayyah selalu bersaing dengan Pamannya yaitu Hasyim bin Abdu Manaf dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.[1] Sesudah datang Agama Islam persaingan yang dulunya merebut kehormatan menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosululloh, sebaliknya Bani Hasim menjadi penyokong dan pelindung Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam atau yang belum. Bani Umayyah adalah orang-orang yang terakhir masuk agama Islam pada masa Rosululloh dan salah satu musuh yang paling keras sebelum mereka masuk Islam. Setelah itu sekumpulan Bani Umayyah masuk islam.
Jadi, nama Dinasti Bani Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd Al- Syam, kakek Abu Sofyan. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sofyan berasal dari keturunan Bani Umayyah , yang berasal dari suku Quraisy.
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M, sa’at khalifah Utsman bin Affan membaca Al-qur’an. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan dianggap terlalu Nepotisme(mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Awal kedaulatan bagi Dinasti Bani Umayyah adalah sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan, lalu dipimpin kholifah Ali bin Abi Thalib, dan Hasan bin Ali. Barulah Dinasti Bani Umayyah muncul, dengan dipimpin oleh khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan yang dulunya gubenur Syam dan tampil sebagai pemimpin Islam yang kuat.
Sebelum Dinasti Bani Umayyah muncul sebagai khalifah. Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar tadi yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tahun 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat Madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffahternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus dan Syiria, serta Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Khalifah Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalibmenimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran diShiffin dan dikenal dengan perang Siffin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dengan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan Umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah wafatnya khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada diMadinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib  sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidak punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Tetapi Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan pada waktu itu.
Muawiyah mengancam  agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Namun Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalamNegeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya yaitu Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah Utsman bin Affan.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebijakan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang dianggap sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera melepaskan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman bin Affan terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib, antara lainMuawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.
1.2. Usaha Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kuffah, oleh kelompok khawarijyaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia khalifah Ali bin Abi Thalib yaitu Syi’ah. Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib (Syi’ah) melakukan sumpah setia (bai’at) atasHasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti khalifah Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib (Syi’ah).
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyahyang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam pada saat itu.
Namun Hasan bin Ali sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin Negara (khalifah). Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap Hasanbin Ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Umayyah. Dialah tokoh pembangunan yang besar. Namanya disejajarkan dalam deretan Khulafaur Rasyidin. Bahkan kesalahanya yang menghianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat (demokrasi) dengan diganti sistem Monarchi, dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan. Mu’awiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib berdamai denganya pada tahun 41 H. Umat Islam sebagianya membaiat Hasan setelah Ayahnya itu wafat. Namun, Hasan menyadari kelemahanya sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Mu’awiyah sehingga tahun itu dinamakan ‘amul jama’ah (Tahun Persatuan).
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifahHasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah bin Abi Sufyan dengan syarat antara lain:
1.      Agar Muawiyah menyerahkan Harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2.      Agar Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalibbeserta keluarganya.
3.      Agar Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan bin Ali setiap tahun.
4.      Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdis Syams.[3]
5.      Muawiyah tidak boleh menarik sesuatu apapun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernamaAbdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya  seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis  Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam Berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonikdan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya yaitu Hasan bin Ali.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah Dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan Raja-Raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” (Musyawaroh) untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein bin Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ah yang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.

B.      Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah.
Dinasti Bani Umaiyah berkuasa selama kurang lebih 90 tahun (41- 132 H/661-750 M). Setelah Muawiyah memindahkan pusat pemerintahan dari kota Madinah (Kuffah ke Damaskus, maka pemerintahan Muawiyah berubah bentuk dari Theo-Demokrasi menjadi Manarchi (kerajaan/dinasti) hal ini berlaku semenjak ia mengangkat putranya Yazid sebagai putra mahkota. Kebajikan yang dilakukan oleh Muawiyah ini dipangaruhi oleh tradisi yang terdapat dibekas wilayah kerajaan Bizantium yang sudah lama dikuasai oleh Muawiyah, semenjak dia diangkat menjadi Gubernur oleh Umar Ibn Khatab di Suriah. Setelah Muawiyah meninggal dunia orang-orang keterunan Umayyah mengangkat Yazid bin Muawiyah menjadi Khalifah sebagai pengganti ayahnya. semenjak itu sistim pemerintahan Bani umayyah memakai sistim turun-temurun sampai kepada Khalifah Marwan bin Muhammad. Marwan bin Muhammad tewas dalam pertempuran melawan pasukan Abdul Abbas As-Safah dari Bani Abas pada tahun 750 M. dengan demikian berakhir Dinasti Bani Umayyah dan diganti oleh Dinasti Bani Abbasiyah setelah memerintah lebih kurang 90 tahun.
Atas perubahan bentuk pemerintahan dari demokrasi ke munarchi, menimbulkan pertentangan dua tokoh, yakni Husen bin Ali dengan Abdullah bin Zuber sehingga mumbuat Husen dan Abdullah meninggalkan kota Madinah. Adapun khalifah-khalifah terbesar Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sofyan  (661-680 M), Abd Al-Malik bin Marwan (685-750 M), Al-Walid bin Abdul Malik (705-715), Umar bin Abdul Azis (717-720 M), Hasyim bin Abdul Malik (720-743 M), puncak kejayaan Dinasti Bani Umayyah terjadi pada masa Umar bin Abdul Aziz (717-720 M), setelah itu merupakan masa keruntuhannya.
(Muawiyah ibn Abi Sufyan) berkata : Aku tidak akan menggunakan pedang jika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras.
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun  peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredity (Kerajaan/Dinasti), yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan/Dinasti dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi SufyanBaitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga Raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecualiUmar bin Abdul Aziz (717-720 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa :
1.      Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2.      Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3.      Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4.      Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5.      Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6.      Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7.      Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.      Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9.      Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10.  Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11.  Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12.  Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13.  Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14.  Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)
Para Sejarawan umumnya sependapat bahwa para khalifah terbesar dari Daulah Bani Umayyah adalah Mu’awiyah, Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.

C.     Khalifah Terbesar dari Dinasti Bani Umayyah.
1.1.       Muawiyah bin Abi Sufyan
Pada Masa Muawiyah inilah, Ekspansi besar-besaran dilakukan, Muawiyah juga mengadakan dinas pos kilat dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap ditiap pos. dan awal pendirian sebuah sitem Dinasti. Ia juga berjasa mendirikan Kantor Cap (percetakan Mata Uang), dan lain-lain.
Pada Masa pemerintahan Muawiyah diraih kemajuan besar dalam perluasan wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mncolok adalah keberanianya mengepung Kota Konstatinopel melalui Ekspedisi yang dipusatkan di Kota pelabuhan Dardanela.
Muawiyah dibaiat oleh umat islam di Kuffah (Madinah), Muawiyah wafat pada tahun 60 H, di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya, yazid yang telah ditetapkanya sebagai Putra Mahkota sebelumya. Yazid tidak sekuat Ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat Husain sepeninggal Muawiyah. Terjadi perang di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu Rosulullah SAW itu. Yazid menghadapi para pemberontak di Makkah dan Madinah dengan keras. Dinding Ka’bah runtuh dikarenakan terkena lemparan Manjaniq , alat pelempar batu ke arah lawan. Peristiwa itu merupakan aib besar pada masanya.
Yazid Wafat pada tahun 64 H, setelah memerintah 4 Tahun dan digantikan oleh Anaknya, Muawiyah II bin Yazid.

1.2.       Abdul Malik bin Marwan
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama dibidang Fiqh. Ia telah berhasil mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasaan Bani Umayyah dari segala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Mulai dari gerakan separatis Abdullah bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, sampai kepada Aksi teror yang dilakukan oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di wilayah Kuffah, dan pemberontakan yang dipimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak. Ia juga menundukkan tentara Romawi yang sengaja membuat keguncangan sendi-sendi pemerintahan Umayyah. Ia memrintahkan pengguna’an Bahasa Arab sebagai bahasa administrasi diwilayah Umayyah, yang sebelumnya masih bermacam-macam, seperti bahasa Yunani di Syam, bahasa Persia di Persia, dan Bahasa Qibti di Mesir. Ia juga memerintahkan untuk mencetakuang secara teratur, membangun beberaapa gedung, dan masjid serta saluran-saluran air. Dan lain-lain.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintah paling lama, yakni 21 tahun.

1.3.       Umar bin Abdul Aziz.
Adapun khalifah besar yang ketiga adalah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahanya sangat singkat, namun Umar bin Abdul Aziz merupakan “Lembaran Putih” Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdiri sendiri. Mempunyai karakter yang terpengaruh oleh berbagai kebijaksana’an daulah Bani Umayyah yang banyak disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Umar bin Abdul Aziz adalah putra Abdul Aziz, gubernur Mesir. Umar bin Abdul Aziz pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur. Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk mengadakan perdamaian antara Amawiyah, Syiah serta Khawarij, menghentikan peperangan dan mencegah caci maki terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya untuk diserahkan hasil penjualanya ke Baitul Mal. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan,kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Umar lepas dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.
Kekhalifahan Dinasti Umayyah mulai mundur sepeninggal Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

D.     Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah.
Ekspansi/perluasan yang terhenti pada masa khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dilanjutkan kembali oleh Dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur,Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, dan Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh kekhalifahan Abd al-Malik. Ia mengirimtentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan BalkhBukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah terkenal sebagai era yang agresif karena perhatian terpusat kepada perluasan wilayah, dan kemajuan besarpun hadir dengan berhasilnya perluasan wilayah tersebut.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam, menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnyaKordova. Pada saat itu, Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee.Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers.Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, UzbekistanPakistan, Purkmenia, dan Kirgiztan yang termasuk sovyet (Rusia). Sampai akhirnya Dinasti ini dijuluki Dinasti Adi Kuasa.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, penaklukan militer di Zaman Umayyah mencakup 3 Frontpenting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Front melawan bangsa Romawi di Asia Kecil dengan sasaran utama pengepungan ke Ibu kota Konstantinopel, dan penyerangan ke Pulau-pulau dilaut tengah.
Kedua, Front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga menyebrangi Selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, Front Timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah disebrang sungai jihun (Ammu Darya), sedangkan lainya ke arah selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian Barat.
·         Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Umayyah.
Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelamahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar.
Kemunduran Bani Umayyah disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:
·         Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinansti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Mutholib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah. Dan kaum Mawali (non-Arab) yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah. Mereka orang non-Arab derajatnya dianggap lebih rendah, misalkan ada tunjangan dari negara maka tunjangan mereka harus lebih sedikit dari orang Arab.
·         Pada Masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani  Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum islam semakin runcing. Perselisian ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan timur lainya merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperhatikan pada Masa Bani Umayyah.
·         Kelalaian kholifah dalam urusan administratif dan tidak adanya perhatian terhadap tugas-tugas Negara membuat Bani Uamayah sangat tidak disukai. Para pejabatnya banyak yang koruposi, banyak yang mementingkan diri sediri dan akibatnya pemerintahan menjadi lamban dan tidak efisien. Persaingan antar suku yang sudah lama, tidak semakin membaik tetapi malah semakin buruk banyak penentangan dari kaum Syiah yang tidak melupakan tragedi Karbala. Ketidakacuan serta perlakuan kejam terhadap keluarga Nabi, kutukan terhadap khutbah-khutbah dan propaganda anti Bani Ali memeperkuat Bani Umayyah. Kaum Syiah memperoleh simpati rakyat karena kecintaan mereka yang sepenuh hati terhadap keturunan Nabi.
·         Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik politik yang terjadi di Masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (Para Pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di Masa awal dan Akhir maupun secara tersembunyi seperti di Masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
·         Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi Tradisi Arab, yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturanya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan Anggota keluarga istana.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan Orang-orang Bani Abbasiyah yang menjalar-jalar dan membunuh setiap orang dari Bani Umayyah yang dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifahan sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyah pada Masa Khalifah Marwan bin Muhammad pada tahun 127 H/744 M, (Khalifah terakhir dari Bani Umayyah).[6]

E.     Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah.
Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalamtatanan sosial, politik, ekonomi, teknologi, maupun sosial kebudayaan. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Dinasti Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
Bidang Politik : Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru, untuk memenuhi tuntutsn perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat Majelis Penasehat sebagai pendamping, Khalifah Bani Umayyah dibantu oeh beberapa orang sekertaris untuk membantu pelaksanaan tugas, yang meliputi :
1.      Katib Ar-Rasa’il, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan para pembesar setempat.
2.      Katib Al-Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.
3.      Katib Al-Jundi, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan berbagai hal yang berkaitan dengan ketentraman.
4.      Katib Asy-Syurtah, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
5.      Katib Al-Qudat, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.[7]
Bidang Sosial Budaya : Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antar bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki tradisin yang luhur seperti ; Persia, Mesir, Eropa, dan sebagainya. Hubungan tersebut lalu melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni dan ilmu pengetahuan. Di Bidang Seni terutama seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah mencatat suatu pencapaian yang gemilang, seperti Home Of The Rock (Qubah Ash-Shakhra) di Yerussalem menjadi monumen terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya dikagumi orang. Perhatian terhadap seni sastra juga meningkat dizaman ini, terbukti dengan lahirnya tokoh-tokoh besar seperti Al-Ahtal, Farazdag, Jurair, dll.
Pada masa itu Abul Aswad Ad-Duali (w. 681 M/62 H) Ulama’ (Bukan Sahabat)menyusun gramatika Arab dengan memberi titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak bertitik 9 (Wadi’un Nuqod ‘Alal Qulub). Usaha ini besar artinya dalam mengembangkan dan memperluas bahasa Arab, serta memudahkan orang membaca, mempelajari, dan menjaga barisan yang menentukan gerak kata dan bunyi suara serta ayunan iramanya, hingga dapat diketahui maknanya. Kerajaan inipun telah mulai menempatkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dengan mementingkan buku-buku bahasa Yunani dan Kopti (Kristen Mesir).
Sudah ada titiknya tapi masih banyak orang non-Arab yang masih belum bisa membaca, makaImam Kholil bin Ahmad Al-Farohidi membuat Sakl, Fathah, kasroh, dhommah, fathahtein, sukun,dll,(w. 165 H).
Abu ‘Ubaid Qosim bin Salam (w. 224 H), membuat Tajwid.
Dalam Bidang Peradaban Dinasti Umayyah telah menemukan jalan yang lebih luas ke arah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media utamanya.
Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:
1.      Pengembangan Bahasa Arab.
Para Penguasa Dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai Daulah (Negara), kemudian dikuatkanya dan dikembangkanlah Bahasa Arab dalam wilayah Kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai Bahasa Resmi dalam tata usaha negara dan pemerintah sehingga pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa Romawi atau bahasa Persia di daerah-daerah bekas jajahan mereka dan di Persia sendiri.
2.      Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu.
Dinasti Umayyah juga mendirikan sebuah Kota kecil sebagai pusat kegiatan IlmuPengetahuan dan Kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan Marbad, kota satelit dari Damaskus. Di Kota Marbad inilah berkumpul para pejangga, filsuf, ulama, penyair, dan cendikiawan lainya, sehingga kota ini diberi gelar Ukadz-nya Islam.
3.      Ilmu Qiraat.
Ilmu Qiraat adalah ilmu seni baca Al-Qur’an. Ilmu Qiraat merupakan ilmu Syariat tertua, yang telah dibina sejak Zaman Khulafaur Rasyidin. Kemudian pada Masa Dinasti Umayyah dikembangluaskan sehingga menjadi Cabang ilmu Syariat yang sangat penting. Pada masa ini lahir para Ahli Qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w. 120 H) dan Ashim bin Abi Nujud (w. 127 H).
4.      Ilmu Tafsir.
Untuk memahami Al-qur’an sebagai kitab Suci diperlukan interprestasi peahaman secara komprehensif.
5.      Ilmu Hadits.
Ketika Kaum Muslimin telah berusaha memahami Al-Qur’an, ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang disebut Hadits. Oleh karena itu timbullah usaha untuk mengumpulkan Hadits, menyelidiki asal-usulnya, sehingga akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan Ilmu Hadits. Diantara para Ahli Hadits pada Masa Dinasti Umayyah adalah Al-Auzai Abdurrahman bin Amru (w. 159 H), Hasan Basri (w. 110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), dan Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil (w. 104 H).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memanggil salah satu orang yang bernama Shihabuddin Romahurmuuzi, untuk membuat ilmu yang digunakan untuk menyeleksi Hadits, namanya : ilmu Mustholahul Hadits,
6.      Ilmu Fiqh.
Setelah Islam menjadi Daulah, maka para penguasa sangat membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dan mengeluarkan Syariat dari kedua sumber tersebut untuk mengatur pemerintahan dan memimpin rakyat. Al-qur’an adalah dasar Fiqh Islam, dan pada zaman ini ilmu Fiqh telah menjadi satu cabang ilmu Syariat yang berdiri sendiri. Diantara ahli Fiqh yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurrahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
7.      Ilmu Nahwu.
Pada Masa Dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang secara luas, khususnya ke wilayah di luar Arab, maka ilmu Nahwu sangat diperlukan. Hal tersebut disebabkan pula bertambahnya orang-orang Ajam (Non-Arab) yang masuk Islam, sehingga keberadaan Bahasa Arab sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, dibukukanlah ilmu Nahwu dan berkembanglah satu cabang ilmu yang penting untuk mempelajari berbagai ilmu Agama Islam.[9]
Contoh, membaca : Innallaha barii’um minal musyriki wa Rosuulih, (Salah), yang artinya:“sesungguhnya Allah tidak melindungi orang Musyrik dan tidak melindungi  Rosulullah”. Yang benar: “Innallaha Barii’um minal Musyriki wa Rosuuluh”, yang artinya: sesungguhnya Allah tidak melindungi Orang Musyrik, dan Rosulullah pun tidak melindungi (Kata: wa Rosuuluh).
8.      Ilmu Jughrafi dan Tarikh.
Jughrafi dan Tarikh pada Masa Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu Tarikh (ilmu Sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya. Adanya pengembangan dakwah islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu Jughrafi (Ilmu Bumi atau Geografi), demikian pula ilmu tarikh. Ilmu Jughrafi dan Ilmu Tarikh lahir pada masa Dinasti Umayyah, barulah berkembang menjadi suatu ilmu yang betul-betul berdiri sendiri pada masa ini.
9.      Usaha Penerjemahan.
Untuk kepentingan pembinaan Dakwah Islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah dimulai pula penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian, jelaslah bahwa gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru berkembang secara pesat pada zaman Dinasti Abbasiyah. Adapun yang mula-mula melakukan usaha penerjemahan yaitu Khalid bin Yazid, seorang pangeran yang sangat cerdas dan ambisius.
-      Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan        menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
-      Menertibkan angkatan bersenjata. Masa pemerintahan Muawiyah tergolong cemerlang. Ia berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dengan membasmi para pemberontak.
-      Muawiyah bin Sufyan berhasil mengantarkan negara dan rakyatnya mencapai kemakmuran dan kekayaan yang melimpah.
-      Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
-      Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli) menjadi profesi sendiri.
-      Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
-      Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara pada waktu itu.
-      Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya.
-      Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
-      Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahw(Abu Aswat Ad-du’aili), Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab(Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan As-sunnah).
Pada masa Bani Umayah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abasiyah merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa Bani Umayah Ilmu Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang lebih menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadist. Khalifah Umar Bin Abdul Azis sangat menaruh perhatian yang besar kepada pengumpulan Hadist. Pengumpulan hadist dilaksanakan oleh ‘Asim al-Anshari. Pada masa ini muncul ahli-ahli hadist sepertiAbu bakar Muhammad bin Muslim bin Abdillah al-Zuhri dan Hasan Basri. Disamping itu muncul pulailmu tata bahasa Arab (Nahwu), Sibaweih menyusun Kitab tersebut untuk mempelajari bahasa Arab bagi orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Ini muncul karena wilayah Islam telah berkembang ke luarJazirah Arab. Orang belum mengenal bahasa Arab, apalagi khalifah Abdul Malik bin Marwanmengerakkan Politik Arabisasi.
Ilmu Aqliyah pada masa ini mulai dikenalkan. Khalifah Muawiyah memerintahkan supaya diterjemahkan karya-karya Bangsa Grek (Yunani) yang mengandung bermacam-macam ilmu. Dengan demikkian orang Islam pada masa ini mulai mengetahui ilmu kedokteran, ilmu Kalam, Seni bangun dan sebagainya. Ilmu Aqliyah pada masa Khalifah Muawiyah baru bertingkat permulaan dan pengenalan. Tingkat perkembangan adalah pada masa khalifah Abdul Malik.[10]

Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Zadatul Fik Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template