Rabu, 27 Januari 2016

penumpasan nabi palsu masa abu bakar ash shiddiq



Penumpasan Nabi Palsu Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq

Di susun oleh :
1.  Ainun Najib (2)
2.  Alvin Nur I. (5)
3.  M. Hikam Naja (14)
4.  Nur Aini W. (22)

Madrasah Aliyah Negeri Lamongan
Tahun pelajaran 2014/2015

Penumpasan Nabi Palsu Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam suratnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”
Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.
Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.
Namun, setelah Nabi wafat,mereka (nabi palsu) semakin membuat kekacauan. Umat Islam yang masih sedih karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”
a. Penumpasan Musailamah Al Kadzab
musailamah al khadzab lahir dari bani hanifah, salah satu suku terbesar di jazirah Arab yang terletak di Yamamah. Berdasarkan temuan sejarah ia telah membangun Yamamah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah. Setelah tersebarnya islam di jazirah Arab kemudian ia menyatakan diri sebagai muslim, dan membangun sebuah masjid di Yamamah.
Ia mempelajari ilmu sihir dan menyatakan sebagai mukjizat. Melalui kemampuan sihirnya ia dapat membuat orang-orang percaya bahwa ia adalah seorang nabi. Ia juga menyatakan bahwa ia juga memperoleh wahyu dan berbagi wahyu dengan nabi Muhammad, bahkan di menyebut dirinya sebagai rahman. Setelah itu, beberapa orang menerimanya sebagai nabi bersama dengan Nabi Muhammad. Perlahan-lahan pengaruh dan wewenang Musailamah meningkat terhadap orang-orang dari sukunya. Setelah itu Musailamah berusaha menghapuskan kewajiban untuk melaksanakan salat serta memberikan kebebasan untuk melakukan seks bebas dan konsumsi Alkohol. Ia juga kemudian menyatakan sebagai utusan Allah bersama dengan Nabi Muhammad, dan menyusun ayat-ayat, yang dinyatakan sebagai tandingan ayat Alquran. Sebagian besar ayat-ayat buatan Musailamah memuji keunggulan sukunya, Bani Hanifah, atas Bani Quraisy.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, Musailamah kemudian menyatakan perang kepada Khalifah Abu Bakar. Para perwira senior tersebut dengan integritas tinggi memobilisasi pasukannya menuju tiap-tiap target sasaran yang ditentukan. Mereka bergerak maju dengan membawa surat ultimatum atas kaum murtad, memperingatkan dengan tegas untuk kembali ke jalan Islam. Apabila seruan ini diabaikan, akan dihabisi nyawanya. Salah satu target operasi yang menjadi skala prioritas adalah Musailamah Al-Kadzdzab, si nabi palsu. Agresi militer kembali meletus. Perang yang dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal radhiyallaahu ‘anhu dan Syarahbil bin Hasanah radhiyallaahu ‘anhu gagal menjalankan operasi taktis. Kekuatan  Bani Hanifah masih di atas angin karena diperkuat jumlah personil yang sangat banyak.
kejadian tragis ini membuat Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu mengirim pasukan di bawah komando panglima Khalid bin Al-Walid radhiyallaahu ‘anhu yang berjumlah 11.000 prajurit dari kaum Anshar dan juga Muhajirin. Bagian depan dipimpin oleh Syurahbil bin Hasanah radhiyallaahu ‘anhu, sayap kanan di bawah komando Abu Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhu, sayap kiri diatur oleh Zaid bin Al-Khatthabradhiyallaahu ‘anhu, dan resimen berkuda dipimpin oleh Usamah bin Zaid radhiyallaahu ‘anhuma. Demikian pula ditentukan para komandan bagi pasukan perintis, satuan penembak, badan intelijen, serta pemegang panji perang. Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu mengomentari korps perwira tersebut, “Demi Allah, aku akan perangi mereka dengan para pejuang militan yang mencintai kematian sebagaimana musuh mencintai kehidupan.”
Perlahan, armada Islam mulai bertolak meninggalkan markasnya menuju Yamamah. Para mujahidin segera membangun kamp pertahanan di wilayah perbatasan. Sebelumnya, 40 prajurit dari resimen berkuda musuh melakukan penyusupan di malam hari. Namun misi rahasia ini dapat digagalkan oleh tim perintis gabungan. Para prajurit musuh selanjutnya dibunuh kecuali Mujja’ah pimpinan mereka, karena dia ahli strategi perang. Musuh mempersiapkan bala tentara sebanyak 100.000 prajurit. Sayap kanan dipimpin Muhakkim bin At-Thufail, adapun sayap kiri diatur oleh Ar-Rajjal. Aliansi bersenjata yang sarat dengan keangkuhan. Di saat kedua armada perang saling berhadapan, Musailamah berkata di depan pasukannya, “Hari ini adalah hari penentuan. Jika kalian tumbang, maka istri kalian akan dinikahi dan ditawan oleh mereka. Karenanya, bertempurlah untuk mempertahankan harga diri dan wanita kalian!”
Pertempuran di Yamamah mulai berkecamuk. Hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Banyak korban berjatuhan dari kedua kubu. Disaat itulah pasukan Islam terpukul mundur hingga musuh berhasil memasuki tenda Khalid . Musuh hampir membunuh istri beliau, namun dapat dicegah oleh Mujja’ah. Konon, Ar-Rajjal tewas pada peristiwa itu.
Para prajurit Islam saling mewasiatkan agar gigih dalam berperang. Disadari, hidup di dunia hanyalah sementara dan menyeru, “Wahai para penghafal surat Al-Baqarah, hari ini kekuatan sihir akan hancur!”. Tsabit bin Qais radhiyallaahu ‘anhu segera mengenakan kain kafan dengan wewangian, lalu membenamkan kedua kakinya ke tanah hingga sampai betisnya, dan tetap tegar tak bergeming mengibarkan panji Anshar hingga akhirnya terbunuh.
Khalid radhiyallaahu ‘anhu sendiri maju menyerang dan menantang perang tanding di tengah barisan. Setiap kali ada prajurit yang berani maju, pasti akan dipenggal lehernya. Bersamaan dengan itu, beliau melakukan alih posisi pasukan untuk memperbesar daya tempur dengan memisah-misahkan divisi Muhajirin, Anshar, dan kabilah lainnya. Pemetaan kekuatan telah dilakukan. Keadaan berbalik dikala formasi menjadi solid. Saatnya membalas serangan musuh. Para mujahidin dengan kekuatan penuh terus maju menggoyahkan barisan  musuh. Saat itulah, Muhakkim tewas terbunuh terkena anak panah runcing tepat di lehernya. Musuh terdesak dan masuk ke dalam kebun yang bertembok bagian luarnya, lalu mengunci pintunya dari dalam. Pengepungan pun langsung dilakukan. Selanjutnya, Al-Barra’ bin Malik radhiyallaahu ‘anhu meminta untuk dilemparkan ke arah kebun itu. Milisi militan Islam menaruhnya diatas tameng besi lalu dilempar bersama-sama ke dalam kebun. Lantas beliau bertempur bagai hulu ledak eksplosif hingga berhasil membuka pintunya. Beliau mendapat 80 luka serius dalam peperangan ini. Tak mau kalah, mujahidah bernama Nusaibah binti Ka’ab radhiyallaahu ‘anha ‒ibunda Habib yang dibunuh Musailamah‒ bertempur dengan keberanian, hingga terputus tangannya, menderita 12 luka akibat tebasan pedang dan hunjaman tombak. Akhirnya para pejuang diiringi pekikan takbir berhasil memasuki kebun, sambil menebas leher-leher musuh dengan leluasa.
Musailamah saat itu tengah berdiri dengan pedang terhunus di sudut pagar. Dengan segera Wahsyi bin Harb radhiyallaahu ‘anhu melemparkan tombak kecilnya, menghunjam tepat di dadanya langsung tembus ke belakang. Secepat kilat Abu Dujanah radhiyallaahu ‘anhumengayunkan pedangnya hingga Musailamah jatuh terjerembab ke tanah. Nabi palsu ini tewas pada usia 150 tahun pada tahun 12 H/633 M
Akhirnya musuh mengalami kekalahan telak dan bertekuk lutut. Jumlah pasukan musuh yang terbunuh pada perang ini sebanyak 10.000 prajurit. Adapun jumlah pasukan Islam yang gugur sebanyak 600 tentara, diantaranya adalah 70 penghafal Al-Qur’an dari kalangan sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Di malam hari, kaum muslimin mengubur jenazah para pejuang. Adapun mayat Musailamah, mereka lempar ke dasar sumur yang dia minum darinya. Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu sendiri sujud syukur dikala mendengar kabar tewasnya Musailamah. Keesokan hari, Khalid menginstruksikan untuk bersiap diri mengepung dan menyerbu benteng musuh. Hanya saja beliau berhasil dikelabui Mujja’ah dengan menyatakan bahwa benteng itu dipenuhi oleh para prajurit, lalu menyarankan untuk mengikat perdamaian. Khalid melihat seluruh sisi atas benteng dipenuhi manusia yang memakai baju besi dengan menyandang senjata yang tengah mengintip. Di sisi lain, beliau mendapati pasukan Islam didera keletihan. Akhirnya beliau memilih untuk berdamai. Gencatan senjata diberlakukan. Setelahnya para pejuang Islam mendapati benteng tersebut hanya dihuni oleh para wanita, orang tua renta, dan anak-anak. Akhirnya, Khalid radhiyallaahu ‘anhu mengajak mereka untuk masuk Islam. Ternyata seluruhnya menerima tawaran itu dan mau kembali ke jalan yang benar
b. Penumpasan Sajaah Tamimiyah
Sajjah binti al-Harits bin Suwaid bin Aqfan at-Tamimiyah satu-satunya nabi palsu yang wanita, dari Bani Tamim. Salah seorang tokoh dukun dari bani Tamim yang mengaku sebagai "Nabi" pada zaman Abu Bakr As-Shidq, tokoh lainnya yang mengikuti Sajjah adalah Malik bin Nuwairah. Bersamaan dengan munculnya nabi palsu Sajjah, muncul pula Musailamah al-Kazzab dari Yamamah. Kalau pada awalnya antara Sajjah dan Musailamah memperebutkan posisi Nabi palsu bahkan berlawanan, akhirnya mereka bekerjasama bahkan kawin. Iya, Sajjah adalah istrinya Musailamah yang juga nabi palsu di zaman itu. Malik bin Nuwairah sebagai panglima pasukan Sajjah, menghadapi Khalid bin Walid di Wadi al-Battah, ditempat mana Malik bin Nuwairah dapat ditangkap dan akhirnya terbunuh.

Sedangkan pasukan Musaimalah al-Kazzab bertambah kuat dengan bergabungnya pasukan Sajjah (kolaborasi dua nabi palsu), mencapai jumlah 40.000 pasukan. Sedangkan pasukan Islam dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal (yang masuk Islam setelah Fathu Mekah), namun sayang pasukan Islam Ikrimah dapat dikalahkan oleh Musailamah al-Kazzab, sehingga Khalifah Abu Bakar di Madinah memerintahkan Khalid bin Walid untuk melanjutkan memimpin pasukan untuk menggempur Musailamah.

Khalid bin Walid mengerakkan pasukannya menuju Wadi al-Aqraba, ditempat ini terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara kedua belah pihak, begitu dahsyatnya peretempuran ini sehingga kekuatan Islam mengalami tekanan. Menghadapi keadaan tersebut Khalid bin Walid melakukan tipu muslihat, seakan-akan pasukan Islam mundur, sehingga pasukan Musailamah maju untuk mengumpulkan harta rampasan. Pada saat pasukan Musailamah sibuk mengumpulkan harta rampasan, Khalid dan pasukannya dengan gerakan kilat, kembali menyerang pasukan Musailamah, sehingga dapat menghancurkann mereka dan sisanya melarikan diri kedalam kota benteng al-Hadiqat. Benteng ini memiliki dinding-dinding yang kukuh dan sukar ditembusi. Setelah beberapa waktu dikepung, akhirnya benteng al-Hadiqat dapat ditembusi, dan terjadilah perang yang sangat mengerikan didalam benteng ini, mereka yang tidak kembali kepada Islam dibunuh, sehingga benteng ”Hadiqaturrrahman” (Taman kenikmatan) berubah menjadi ”Hadiqatul maut” (Taman kematian), termasuk Nabi palsu Musailamah al-Kazzab tersebut. Diperkirakan dalam peperangan ini terbunuh 12.000 pasukan Musailamah dan 600 pasukan Islam, sebahagian besarnya sahabat penghafal Al-Qur’an, yang menyebabkan khawatirnya Umar terhadap keberlangsungan terpeliharanya Al-Qur’an melalui hafalan dan cacatan wahyu para Sahabat.
Setelah Musailamah terbunuh, Saj’ah melarikan diri ke Irak kemudian masuk Islam dan mati dalam keadaan Islam.
c. Penumpasan Aswad Al-Ansi
Abhalah bin Ka’ab bin Auf al-Ansi al Madzhiji , seorang dukun dari Yaman. Dia memiliki 700 personil yang dipersenjatai. Sebelumnya dia pernah menuliskan surat kepada perwakilan Nabi yang berisi, “Wahai orang-orang yang menjajah kami, kembalikan kepada kami harta yang telah kalian ambil dari hasil tanah kami, kembalikan apa yang kalian kumpulkan, sebab kami lebih berhak untuk memilikinya, dan kalian tetap sebagaimana biasa dengan apa yang kalian miliki.”
Setelah itu dia berjalan menuju Najran dan menaklukkannya dalam sepuluh malam. Kemudian dia melanjutkan lagi perjalanannya ke Shan’a. Di sana dia berhadapan dengan Syahr bin Bazan yang mengajaknya untuk perang tanding, akhirnya perkelahian terjadi dan Aswad berhasil membunuh Syahr sekaligus melumpuhkan pasukannya. Sejak itu dia menjajah negeri Shan’a, setelah 25 malam keluar dari tempatnya, maka Mu’adz bin Jabal melarikan diri dari tempat itu dan menemui Abu Musa al-Asy’ari, maka keduanya berangkat menuju Hadramaut dan menemui salah seorang perwakilan Rasulullah saw. di sana yang bernama Thahir bin Abi Halah, maka segera Amru bin Hazm147 dan Khalid bin Sa’id bin al-Ash kembali ke Madinah, dengan itu maka seluruh Yaman dikuasai oleh Aswad al-Ansi, dan kejahatan yang dilakukannya telah tersebar ke mana-mana.
Jumlah pasukannya ketika berhadapan dengan Syahr sebanyak 700 pasukan berkuda, di antaranya adalah panglimanya, Qais bin Abd Yaghuts, Muawiyah bin Qais, Yazid bin Muharram, Yazid bin Husain al-Haritsi148 dan Yazid bin al-Afkal al-Azdi. Kerajaannya menjadi kuat, dan semakin sulit ditaklukkan, sejak itu banyak penduduk Yaman yang murtad.
Kaum muslimin yang tinggal di sana berusaha bergaul dengan mereka dengan cara taqiyyah, dan di antaranya adalah gubernur untuk wilayah Maz-haj yaitu Amru bin Ma’di Karib. Masalah ketentaraan diserahkan kepada Qais bin Abd Yaghuts, dan urusan anak-anak jajahan Persia diserahkan kepada Fairuz ad- Dailami dan Dadzawaih. Dia menikahi istri Syahr bin Bazan yang merupakan sepupu dari Fairuz ad-Dailami yang bernama Azadz, istrinya adalah seorang wanita yang baik dan cantik. Di samping itu ia adalah seorang wanita yang beriman kepada Allah dan RasulNya Muhammad saw, dan termasuk dari wanita yang shalihah.
Saif bin Umar at-Tamimi berkata, Ketika sampai kepada Rasulullah saw. SH berita Aswad al-Ansi yang dibawa oleh Wabar bin Yunanis ad-Dailamim maka Rasulullah saw. mengirim surat ke Yaman, dalam surat tersebut Rasulullah saw. memerintahkan kaum mulimin di Yaman agar membunuh Aswad al-‘Ansi, maka Mu’adz bin Jabal berusaha melaksanakan perintah ini sebaik-baiknya. Sebelumnya Mu’adz telah menikahi seorang wanita dari as-Sakun yang bernama Ramlah, dengan pernikahan itu maka orang as-Sakun menjadi setia terhadap Mu’adz disebabkan hubungan pernikahan dengan puteri mereka. Maka mereka menyampaikan surat Rasulullah saw. ini kepada perwakilan Nabi dan kepada siapa saja yang dapat disampaikan. Akhirnya mereka sepakat untuk bergabung bersama Qais bin Abd Yaghuts panglima tentara Aswad- yang telah membelot disebabkan perbuatan Aswad yang menghinakannya, memarahinya bahkan nyaris membunuhnya, demikian juga mereka bersepakat dengan Fairuz dan Dadzawaih.
Ketika Wabar bin Yuhannis memberitakan surat Nabi kepada Qais bin Abd Yaguts, yaitu Qais bin Maksyuh, seolah-olah dia menerima berita dari langit, maka mereka sepakat untuk membinasakan Aswad, dengan dukungan seluruh kaum muslimin. Tatkala mereka sepakat merahasiakannya, maka Setan al-Aswad memberitakan kabar ini kepada al-Aswad, maka segera Aswad memanggil Qais bin Maksyuh dan berkata, “Wahai Qais apa yang telah dikatakan oleh pembisikku?” Qais bertanya, “Apa yang dikatakannya?” al-Aswad menjawab, “Dia berkata padaku, Engkau telah memuliakan Qais hingga kini kedudukannya sama sepertimu, namun dia cenderung menjadi musuhmu, dan berusaha merebut kerajaanmu, sambil menyembunyikan di dalam hatinya niat untuk membunuhmu!”
Dia berkata, “Wahai Aswad betapa pilu nasibmu maka rebutlah kekuasaan dari Qais dan bunuhlah dia, jika tidak maka dia akan merebut kekuasaanmu!” Maka Qais berkata sambil bersumpah, “Dia telah berbohong demi Dzi Himar sesungguhnya engkau di mataku sangat mulia dan lebih agung dari apa-apa yang aku sembunyikan dalam diriku!” Maka al-Aswad berkata padanya, “Alangkah beraninya dirimu? Bagaimana engkau mengatakan malaikat yang membisikkan padaku berbohong?
Padahal malaikatku jujur, dan aku tahu sekarang bahwa dirimu telah taubat berdasarkan pengelihatan mata hatiku terhadap dirimu.” Setelah itu Qais keluar dari sisinya dan datang kepada teman-temannya, yakni Fairuz dan Dadzawaih, dan menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dan al- Aswad. Mereka berkata, “Kita harus berhati-hati, apa rencana selanjutnya?”
Tatkala mereka sedang berunding tiba-tiba mereka dipanggil utusan al-Aswad untuk segera menemuinya. Al-Aswad berkata, “Bukankah kalian telah aku muliakan dari kaum kalian?” Mereka menjawab, “Ya!” Kemudian dia melanjutkan, “Apa yang telah aku dengar dari kalian?” Mereka menjawab, “Maafkan kami kali ini!” Al-Aswad berkata, “Jangan sampai terdengar sekali lagi tentang perbuatan kalian hingga aku tidak akan maafkan kalian!” Qais berkata, “Maka kami keluar dari hadapannya dalam keadaan gerak-gerik kami dimata-matai. Kami benar-benar dalam bahaya. Dalam kondisi demikian maka kami menerima surat-surat dari dari Amir bin Syahr pemimpin wilayah Hamdan, pemimpin Dzi Zhulaim, Dzi Kalaa’ dan gubernur \ aman lainnya yang isinya siap tunduk dan patuh dalam membantu kami untuk menentang al-Aswad.
Disebabkan surat Rasulullah saw. yang sampai kepada mereka yang berisi perintah membunuh al-Aswad al-‘Ansi, maka kami balas surat mereka yang isinya, “Jangan berbuat hal-hal yang mencurigakan terlebih dahulu hingga kami perintahkan.”
Qais berkata, “Aku masuk ke rumah istri al-Aswad, Azadz dan berkata, Wahai puteri pamanku, engkau telah mengetahui kejahatan lelaki ini pada kaummu, dia telah membunuh suamimu, dan membunuh banyak kaummu, dia suka melecehkan kaum wanita. Apakah engkau punya niat untuk membalas sakit hatimu padanya?” Dia bertanya, “Apa yang bisa aku lakukan?” Kukatakan padanya, “Usir dia keluar!” la berkata, “Atau kita bunuh saja?” Kukatakan, “Ya!” la berkata, “Demi Allah tidak pernah aku membenci seseorang lebih dari benciku kepadanya, dia tidak pernah sedikitpun menunaikan kewajibannya kepada Allah dan tidak pula mau mencegah dirinya dari hal-hal yang diharamkan Allah. Jika kalian telah siap maka beritahukan aku, aku akan beri petunjuk kepada kalian mengenai masalah ini!” Aku keluar menemui Fairuz dan Dadzawaih yang sedang menunggu. Mereka ingin segera melaksanakan niat mereka, ketika mereka berkumpul tiba-tiba al-Aswad memanggil Qais untuk menghadapnya, segera Qais masuk membawa sepuluh orang dari kaumnya. Al-Aswad berkata, “Bukankah aku telah menyampaikan kebenaran kepadamu sementara engkau menyampaikan kebohongan kepadaku?” Pembisikku mengatakan, “Alangkah jelek nasibmu alangkah jelek nasibmu! Jika engkau tidak segera memotong tangán Qais maka dia akan memotong lehermu!” Ketika itu Qais telah pasrah dan menganggap dirinya pasti akan terbunuh. Namun Qais menjawab, “Itu tidak benar, bagaimana mungkin hal itu aku lakukan sebab engkau adalah Rasul utusan Allah, maka jika engkau bunuh aku itu lebih aku sukai daripada kematian-kematian yang aku rasakan setiap hari!” Maka al-Aswad merasa iba padanya dan menyuruhnya keluar.
Qais keluar menemui rekan-rekannya dan berkata, “Sekarang mari kita mulai bekerja, ketika mereka sedang berdiam di pintu dan bermusyawarah, tiba-tiba al- Aswad keluar menemui mereka sementara telah dikumpulkan untuknya 100 ekor hewan berupa lembu maupun unta. Dia berdiri membuat satu garis, dengan tidak melangkahi garis dia mulai menyembelih unta-unta dan hewan-hewan tersebut dengan buasnya, hingga hewan-hewan itu binasa. Qais berkata, “Aku tidak pernah melihat suatu perkara yang lebih men-jijikkan daripada hari ini, tidak pernah aku temui suatu hari yang lebih buas daripada hari ini.” Tiba-tiba al-Aswad berkata, “Apakah benar yang aku dengar tentangmu hai Fairuz? Sesungguhnya aku ingin menyembelihmu sebagaimana hewan-hewan ini,” dia menunjukkan tombaknya kepada Fairuz.
Fairuz menjawab, “Kami telah memilihmu menjadi ipar kami, dan engkau telah memuliakan kami dari seluruh kaum kami. Jika engkau bukan seorang Nabi maka mustahil kami mau menjual diri kami untukmu. Apa lagi jika seluruh kenikmatan dunia dan akhirat kami ada di tanganmu? Maka jangan pernah engkau terima berita tentang kami seperti apa yang kau dengar, kami akan berbuat apa yang engkau suka!” Akhirnya al-Aswad senang mendengar itu dan menyuruhnya untuk membagi-bagikan daging hewan tersebut. Fairuz membagi-bagikan daging tersebut kepada penduduk Shan’a, kemudian segera kembali menemui al-Aswad. Ternyata dia mendapati seorang lelaki yang tengah menyarankan pada al-Aswad agar membunuh Fairuz sementara Fairuz mendengar seluruhnya dengan sembunyi-sembunyi. al-Aswad berkata, “Aku pasti akan membunuhnya beserta rekan-rekannya besok. Ikutlah bersamaku besok pagi!”
Kemudian dia menoleh dan ternyata Fairuz hadir di situ, segera Fairuz menginformasikan tentang daging-daging yang telah dibagikannya kepada penduduk Shan’a, kemudian al-Aswad kembali ke rumahnya dan Fairuz memberitahukan berita yang didengarnya kepada rekan-rekannya. Mereka sepakat untuk mendatangi istri al-Aswad, sesampainya di sana salah seorang dari mereka yaitu Fairuz- masuk menemuinya, wanita itu berkata, “Tidak ada satu rumahpun kecuali dikelilingi oleh penjaga kecuali rumah ini, maka ketahuilah sesungguhnya punggungnya menghadap ke arah jalan. Jika hari telah malam bersiap-siaplah untuk menghabisinya tanpa sepengetahuan penjaga. Tidak ada jalan kecuali harus membunuhnya, dan aku akan meletakkan di dalam rumah lampu dan senjata.”
Tatkala Fairuz keluar rumah dia berpapasan dengan al-Aswad dalam keadaan murka padanya dan berkata, “Beraninya engkau masuk menemui istriku?” Sambil memukul kepalanya, sebagaimana diketahui bahwa al-Aswad terkenal déngan kekejamannya. Tiba-tiba istrinya itu menjerit dan membuat al-Aswad terkejut, andaikata tidak demikian niscaya dia akan membunuh Fairuz. Istrinya berteriak, “Dia sepupuku, sedang datang mengunjungiku!” Al-Aswad berkata, “Diamlah! Celaka kamu ini, aku lepaskan dia karenamu!” Maka Fairuz segera keluar menemui rekan-rekannya dan memberitakan kabar tersebut. Mereka bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Kemudian istri al-Aswad mengirim pesan kepada mereka yang isinya, “Jangan ragu terhadap apa yang telah kalian rencanakan, maka Fairuz masuk menemuinya dan menanyakan kabar berita yang terjadi. Dan akhirnya mereka masuk ke dalam rumah tersebut mempersiapkan segalanya untuk memudahkan rencana pembunuhan al-Aswad. Kemudian dia duduk seolah-olah sedang berkunjung, tiba-tiba al-Aswad masuk dan bertanya, “Siapa ini?” Istrinya menjawab, “Dia adalah saudaraku satu susuan dan sepupuku.” Maka al-Aswad membentaknya dan menyuruhnya keluar, segera Fairuz menemui sahabat-sahabatnya.
Pada malam hari, mereka memasuki rumah tersebut dan mendapati ada lampu di bawah piring. Fairuz maju mendekati al-Aswad yang sedang tertidur pulas di atas kasur yang terbuat dari sutera. Kepalanya tertekuk ke arah badannya dalam keadaan mabuk sambil mendengkur. Sementara istrinya duduk di sisinya, tatkala Fairuz berdiri di pintu kamar itu tiba-tiba setan al-Aswad mendudukkannya sambil berkata seolah-olah Aswad yang sedang berkata, sementara dia masih mendengkur-, “Ada apa antara aku dan dirimu wahai Fairuz?” Fairuz takut jika dia kembali dirinya dan wanita itu akan binasa, maka dengan segera dia mencekik al- Aswad. Lalu Fairuz menarik kepalanya dan memotong lehernya, sambil melipatkan kedua lututnya ke arah belakang tubuh hingga akhirnya Fairuz berhasil membunuhnya, segera Fairuz bangkit berdiri akan memberitahukan kepada rekan-rekannya, maka wanita itu menarik bajunya dan berkata, Bagaimana engkau pergi meninggalkan keluargamu di sini?” Wanita itu mengira Fairuz belum membunuhnya. Fairuz menjawab, “Aku keluar untuk memberitahu mereka bahwa dia telah aku bunuh, mereka langsung masuk bersama-sama dan memenggal kepalanya, namun setannya berusaha menggerakgerakkan kepalanya, tetapi belum sempurna terbunuh hingga dua orang dari mereka duduk di atas punggungnya dan wanita itu menjambak rambutnya, sementara mulutnya masih berkata-kata. Hingga salah seorang dari mereka memenggal kepalanya, dia menjerit sekuat-kuatnya seolah-olah kerbau yang disembelih. Akhirnya ia pun mati ditangan Fairuz pada tahun 11 H/632 M Para pengawal berhamburan ke rumah al-Aswad dan bertanya, “Suara apa itu?” Istrinya menjawab, “Itu adalah suara Nabi sedang menerima wahyu!” Akhirnya mereka kembali.
Qais, Dadzawaih dan Fairuz duduk bermusyawarah bagaimana cara memberitakan kepada pengikutya tentang terbunuhnya al-Aswad. Akhirnya mereka sepakat untuk mengumandangkan adzan subuh yang merupakan syi’ar kaum muslimin.
Ketika pagi datang, maka salah seorang dari mereka yakni Qais berdiri mengumandangkan adzan, seketika berkumpulah seluruh kaum muslimin dan orang-orang kafir di sekitar benteng, maka Qais -sebagian mengatakan Wabar bin Yuhannis meneriakkan kalimat syahadat, “Asyhadu anna Muhammad Rasulullah saw., dan aku bersaksi bahwa ‘Abhalah (al-Aswad) adalah pendusta!” Sambil melemparkan kepalanya ke tengah-tengah mereka. Maka bertekuk lututlah seluruh pengikutnya dan orang-orang sibuk mengejar mereka di setiap jalan sambil menawan mereka, dengan demikian Islam dan kaum muslimin menang, dan para perwakilan Rasulullah saw. kembali kepada peker-jaan mereka masing-masing. Sementara ketiga orang tadi berselisih siapa yang menjadi pemimpin, akhirnya mereka sepakat untuk mengangkat Mu’adz menjadi imam shalat. Mereka segera menuliskan berita terbunuhnya al-Aswad kepada Rasulullah saw. padahal beliau telah mendapat berita hal itu dari Allah pada malam harinya.
Saif bin Umar at-Tamimi berkata dari Abul Qashim as-Sanawi dari al-Ala’ bin Ziyad, dari Ibnu Umar dia berkata, “Telah sampai berita kepada Nabi pada malam terbunuhnya al-‘ Ansi, beliau memberitakan kabar gembira kepada kami, dengan sabdanya, “Telah terbunuh al-Ansi tadi malam, dia dibunuh oleh seorang yang penuh berkah dari keturunan yang berkah pula.” Ditanya-kan kepada beliau, “Siapa yang telah membunuhnya wahai Rasulullah saw.?” Rasul menjawab, “Fairuz, Fairuz telah menang.” Saif bin Umar meriwayatkan dengan sanadnya dari Fairuz dia berkata, “Kami membunuh al-Aswad, maka kondisi kota Shan’a kembali normal seperti sediakala. Kemudian kami mengirim surat kepada Mu’adz bin Jabal dan kami rela dengan keputusannya, maka ia shalat mengimami kami di Shan’a, dan Demi Allah tidak lebih tiga hari ia shalat mengimami kami hingga sampailah kepada kami berita bahwa Rasulullah saw. telah wafat. Dan akhirnya urusan menjadi kacau balau. Kami banyak mengingkari hal-hal yang sebelumnya telah kami ketahui, seolah bumi berguncang.
Berita mengenai al-Ansi telah sampai kepada Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Di akhir bulan Rabiul Awwal setelah beliau mempersiapkan pasukan Usamah. Ada yang mengatakan bahwa berita gembira terbunuhnya al-‘Ansi sampai pada pagi hari wafatnya Rasulullah saw. HI, namun pertdapat yang pertama lebih masyhur, wallahu a’lam. Intinya, baru pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dicapai kesepakatan di antara mereka untuk bersatu mengurus kemaslahatan mereka. Abu Ja’far Ibnu Jarir berkata, “Telah berkata kepadaku Umar bin Syabbah an- Numairi, dia berkata, aku diberitahu oleh Ali bin Muhammad -yaitu al-Madinidari Ma’syar dan Yazid bin Iyadh bin Ja’d dengan sanadnya, dan Ghassan bin Abdul Hamid, dan Juwairiyyah bin Asma, dari guru mereka yang berkata, ‘Abu Bakar memberangkatkan pasukan Usamah di akhir Rabiul Awwal, sementara berita terbunuhnya al-Aswad al-‘Ansi baru sampai pada akhir Rabi’ul Awwal setelah keberangkatan pasukan Usamah, itulah berita kemenangan pertama yang sampai kepada Abu Bakar ketika beliau berada di Madinah.
d. Penumpasan Thulaihah Bin Khuwailid
Di zaman Jahiliyyah, dia terkenal sebagai seorang dukun terkemuka. Banyak didatangi dan dimintakan nasehat. Profesinya sebagai dukun, telah mengangkat figur dan ketokohan Thulaihah di tengah masyarakat pada saat itu. Maklum, saat itu masyarakat Jahiliyyah senang dengan ramalan-ramalan dukun dan tukang sihir. Sebagai posisi Thulaihah begitu kuat di mata masyarakat.

Ketika Islam diturunkan ke jazirah Arab, dan Rasul SAW mulai menjalankan dakwahnya, popularitas Thulaihah mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan oleh ketegasan ajaran Islam yang melarang umatnya untuk konsultasi dan menggantungkan harapan nasib pada dukun. Konsultasi pada dukun merupakan bagian dari perilaku kemusyrikan, yang jika terbawa mati, maka dosa itu tidak akan diampuni.

Turunnya popularitas Thulaihah menimbulkan bara dendam di hatinya, karena kondisi tersebut menjadikan ia kembali menjadi rakyat biasa. Kedatangan dakwah Muhammad SAW telah mengakibatkan "bisnis perdukunannya" mengalami penurunan dariastis. Singkat cerita, begitu mendengar Rasul SAW sakit, Thulaihah seperti mendapat angin segar. Ia menemukan peluang. Peluang untuk mengembalikan kejayaan dan ketokohannya, persis seperti pada zaman sebelum Rasul SAW.

Akhirnya, ketika Rasul SAW wafat, maka kesempatan tersebut ia manfaatkan dengan mendeklarasikan dirinya sebagai Nabi baru. Apa isu yang dibawa oleh Thulaihah sebagai Nabi baru pada saat itu? Ia pun memulai dengan ajaran baru tentang shalat. Thulaihah mengatakan bahwa dalam sholat, manusia tidak pantas untuk melakukan sujud. Kata Thulaihah, kepala dan wajah tidak diciptakan oleh Tuhan untuk dihinakan dengan mencium bumi lima kali sehari. Thulaihah pun menghapuskan kewajiban bayar zakat pada orang-orang kaya. Pernyataannya ini mendapat sambutan sbagian masyarakat. Yang mendukung Thulaihah antara lain orang-orang kaya yang lemah imannya dari suku al-asadi dan Ghathafan. Ajarannya lalu menyebar, kabilah-kabilah di sekitar Madinah pun banyak yang mulai terpengaruh oleh ajaran sesat Thulaihah.

Merasa mendapat dukungan yang cukup dari sebagian masyarakat, Thulaihah pun nekat berangkat ke Madinah untuk menemui Abu Bakar ra. Thulaihah meminta Abu Bakar untuk mengakuinya sebagai Nabi dan mengajaknya untuk hidup berdampingan secara damai. Thulaihah merasa bhw ajarannya ini, meski berbeda dengan ajaran Rasul SAW, layak diberikan ksempatan untuk berkembang. Thulaihah sangat percaya diri dengan jumlah massa di belakangnya yang dianggap olehnya berjumlah cukup besar.

Setelah menemui Abu Bakar, dan menyampaikan pernyataannya sebagai Nabi sekaligus menghapus kwajiban zakat, Thulaihah pun kembali. Setelah Thulaihah pulang, malam itu juga Khalifah Abu Bakar mengundang sejumlah sahabat untuk bermusyawarah tentang langkah yang akan diambil. Pembicaraan Abu Bakar dengan para sahabat sangat serius. Ada yang mengusulkan supaya khalifah bersikap lunak sampai pasukan Usamah datang. Saat itu pasukan Usamah bin Zaid dikirim untuk memerangi pasukan Romawi. Namun Abu Bakar mengambil langkah tegas. Meski sudah tua, Abu Bakar memutuskan untuk memerangi Thulaihah. Syariat Islam tidak boleh dinodai. Komentar terkenal Abu Bakar yang terekam dalam sejarah adalah: “Demi Allah, aku akan perangi orang-orang yang memisahkan shalat&zakat”.

Akhirnya, malam itu juga Abu Bakar memutuskan untuk memberangkat pasukan yang langsung ia komandoi. Para sahabat lain meminta Abu Bakar tetap tinggal di Madinah, tapi ditolaknya. Ia bersikeras memimpin langsung pasukan tersebut. Pada saat itu, rombongan pasukan Thulaihah masih berada di perbatasan Madinah. Mereka terkejut ketika melihat pasukan Abu Bakar. Pasukan Thulaihah pun kocar- kacir mendapat serangan pasukan Abu Bakar. Bahkan sebagian mereka melarikan diri ke Bani Ghathafan. Namun demikian, Thulaihah berhasil melarikan diri ke Syria, di bawah perlindungan Ghassani. Inilah kemenangan pertama pasukan Abu Bakar dalam sejarah, yang membuat sebagian kabilah yang ingin murtad, untuk mengurungkan niatnya. Abu Bakar pun memerintahkan Khalid bin Walid untuk menyisir dan melumpuhkan sisa-sisa kekuatan pasukan Thulaihah. Dengan kepiawaiannya, Khalid bin Walid akhirnya mampu melumpuhkan kantong-kantong kekuatan Thulaihah.  Yang menarik, meski Abu Bakar mengambil tindakan tegas, namun kelembutan tetap beliau tunjukkan terhadap para tawanan, pengikut Thulaihah. Kelembutan beliau membuat Uyainah bin Hishan, seorang tokoh utama suku Ghathafan, tangan kanan Thulaihah, sadar dan masuk Islam. Abu Bakar pun tak henti-hentinya menyerukan Thulaihah dan para pendukungnya yang tersisa untuk bertobat dan kembali pada Islam. Dengan penuh kelembutan dan kasih sayangnya, akhirnya Thulaihah pun sadar dan bertobat, di akhir masa pemerintahan Abu Bakar. Kesadaran dan tobatnya Thulaihah ia tunjukkan dengan sejumlah langkah nyata. Antara lain, ia sempat melakukan ibadah haji dan umroh sebelum Abu Bakar wafat Thulaihah. Kemudian Thulaihah pun aktif berperang di zaman Umar bin Khattab menjadi khalifah. Ia menjadi prajurit Islam yang tangguh. Sejarah mencatat, kiprah Thulaihah berujung dengan syahidnya beliau di Perang Nahawand di Persia pada tahun 21 H/642 M, di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash.

1 komentar:

 
Zadatul Fik Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template