DINASTI UMAYYAH
A. Pendirian Dinasti Bani
Umayyah.
1.1. Asal Mula Dinasti Bani
Umayyah.
Nama Dinasti Umayyah
dinisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdu Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah
Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni
keluarga bangsawan, cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra.
Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah
mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayyah selalu bersaing dengan Pamannya
yaitu Hasyim bin Abdu Manaf dalam
memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.[1] Sesudah datang Agama Islam persaingan yang dulunya
merebut kehormatan menjadi permusuhan yang
lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosululloh,
sebaliknya Bani Hasim menjadi penyokong dan pelindung
Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam atau yang belum. Bani Umayyah adalah
orang-orang yang terakhir masuk agama Islam pada masa Rosululloh dan salah satu
musuh yang paling keras sebelum mereka masuk Islam. Setelah itu
sekumpulan Bani Umayyah masuk islam.
Jadi, nama Dinasti Bani
Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd Al- Syam, kakek Abu Sofyan. Sedangkan
Muawiyah bin Abi Sofyan berasal dari keturunan Bani Umayyah , yang berasal dari
suku Quraisy.
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah
dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh
tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M, sa’at khalifah Utsman bin Affan membaca Al-qur’an. Pada saat itu khalifah Utsman bin
Affan dianggap terlalu Nepotisme(mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau
gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Awal kedaulatan bagi Dinasti Bani Umayyah adalah sepeninggal
Khalifah Utsman bin Affan, lalu dipimpin kholifah Ali bin Abi Thalib, dan Hasan bin
Ali. Barulah Dinasti Bani Umayyah muncul, dengan dipimpin oleh
khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan yang dulunya gubenur
Syam dan tampil sebagai pemimpin Islam yang kuat.
Sebelum Dinasti Bani Umayyah
muncul sebagai khalifah. Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar
seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi Ali
bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan.
Permintaan itu di pertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan pada akhirnya Ali bin Abi
Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para
tokoh besar tadi yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam merasa
tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin
Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali
pada tahun 656
M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap
kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang
paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin
Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh
masyarakat Madinah dan sekelompok masyarakat
pendukung dari Kuffah, ternyata ditentang oleh sekelompok
orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur
Damaskus dan Syiria, serta Marwan
bin Hakam yang ketika pada masa Khalifah Utsman bin Affan, menjabat sebagai
sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah
Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan
membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan
sekutunya terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalibmenimbulkan konflik yang berkepanjangan
antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran diShiffin dan
dikenal dengan perang Siffin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu
yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dengan Ali
bin Abi Talib di
tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1
Shafar tahun 37 H/657 M. Muawiyah tidak menginginkan adanya
pengangkatan kepemimpinan Umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah wafatnya khalifah Utsman bin
Affan, masyarakat muslim baik yang ada diMadinah , Kuffah, Bashrah
dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman.
Kenyataan ini membuat Muawiyah tidak punya pilihan lain, kecuali harus
mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala
perintahnya. Tetapi Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut
karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti
seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan pada waktu
itu.
Muawiyah mengancam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan
Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang
dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Namun Khalifah
Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu
setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalamNegeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian
kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah,
Bashra dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang
dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti
Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota
Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika
bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk
bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di
Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak
menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja
mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari
krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi
Thalib berada di balik kasus pembunuhan Khalifah Utsman
bin Affan.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar,
karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya yaitu Hasan
dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan
massa yang mendatangi kediaman khalifah Utsman bin Affan.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di
curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga
Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara
mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba
memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah
Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal
dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah
gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di
anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir.
Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka
menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para
pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana
yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin
Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas
permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan
posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman
bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini
menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebijakan
yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan
demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan.
Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang dianggap sangat
sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah
marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera melepaskan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah
Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di
selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi
dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman bin Affan terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa
kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib, antara lainMuawiyah bin Abi Sufyan sebagai
gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman
gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta
masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan
pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan
kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan
gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan
pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman
bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.
1.2. Usaha
Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal
21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat
sedang beribadah di masjid Kuffah, oleh kelompok khawarijyaitu Abdurrahman
bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan
umat Islam khususnya para pengikut setia khalifah Ali bin Abi
Thalib yaitu Syi’ah. Oleh karena itu, tidak lama berselang
umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib (Syi’ah) melakukan
sumpah setia (bai’at) atasHasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti khalifah Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak
orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada
sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu.
Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian
diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib (Syi’ah).
Pengangkatan Hasan bin Ali di
hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan
dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada
saat itu Muawiyyahyang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga
menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri
sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia
Islam pada saat itu.
Namun Hasan bin
Ali sosok
yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk
menjadi pemimpin Negara (khalifah). Ia lebih memilih mementingkan persatuan
umat. Hal ini dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk
tidak melakukan bai’at terhadap Hasanbin Ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik,
termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin
Abi Sufyan.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan
adalah bapak pendiri Dinasti Umayyah. Dialah tokoh pembangunan yang besar.
Namanya disejajarkan dalam deretan Khulafaur Rasyidin. Bahkan kesalahanya yang
menghianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat (demokrasi) dengan
diganti sistem Monarchi, dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan
kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan. Mu’awiyah mendapat kursi
kekhalifahan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib berdamai denganya pada tahun
41 H. Umat Islam sebagianya membaiat Hasan setelah Ayahnya itu wafat. Namun,
Hasan menyadari kelemahanya sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan
umat kepada Mu’awiyah sehingga tahun itu dinamakan ‘amul jama’ah (Tahun
Persatuan).
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, khalifahHasan bin Ali tidak
mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah.
Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang
berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan
syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah bin Abi Sufyan dengan syarat antara lain:
1. Agar Muawiyah menyerahkan Harat
Baitulmal kepadanya
untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2. Agar Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan
hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalibbeserta keluarganya.
3. Agar Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan
daerah dari Bijinad kepada Hasan bin Ali setiap
tahun.
5. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatu apapun
dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah
menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin
Ali mengutus seorang shahabatnya bernamaAbdullah bin Al-Harits bin
Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah.
Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di
ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin
Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan
sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi
oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan
darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin
kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku
tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam Berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus,
hegemonikdan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya
dari tangan pemimpin sebelumnya yaitu Hasan bin
Ali.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini
menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di
bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada
Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan
ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih
cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari
Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan
secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak
henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya
secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada
di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah Dinasti baru yaitu Dinasti Bani
Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara
meniru gaya kepemimpinan Raja-Raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada
anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem
pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” (Musyawaroh) untuk
menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa
kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah
dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap
terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein bin Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai
khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke
Kufah atas permintaan golongan syi’ah yang ada di Irak. Umat islam Di
daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan
dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
B. Pola Pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah.
Dinasti Bani Umaiyah berkuasa
selama kurang lebih 90 tahun (41- 132 H/661-750 M). Setelah Muawiyah memindahkan pusat pemerintahan
dari kota Madinah (Kuffah ke Damaskus, maka pemerintahan
Muawiyah berubah bentuk dari Theo-Demokrasi menjadi Manarchi
(kerajaan/dinasti) hal ini berlaku semenjak ia mengangkat putranya Yazid
sebagai putra mahkota. Kebajikan yang dilakukan oleh Muawiyah ini dipangaruhi
oleh tradisi yang terdapat dibekas wilayah kerajaan Bizantium yang sudah lama
dikuasai oleh Muawiyah, semenjak dia diangkat menjadi Gubernur oleh Umar
Ibn Khatab di Suriah. Setelah Muawiyah meninggal dunia orang-orang keterunan
Umayyah mengangkat Yazid bin Muawiyah menjadi Khalifah sebagai pengganti
ayahnya. semenjak itu sistim pemerintahan Bani umayyah memakai sistim turun-temurun sampai
kepada Khalifah Marwan bin Muhammad. Marwan bin Muhammad tewas dalam
pertempuran melawan pasukan Abdul Abbas As-Safah dari Bani Abas pada tahun 750
M. dengan demikian berakhir Dinasti Bani Umayyah dan diganti oleh Dinasti Bani
Abbasiyah setelah
memerintah lebih kurang 90 tahun.
Atas perubahan bentuk pemerintahan dari
demokrasi ke munarchi, menimbulkan pertentangan dua tokoh, yakni Husen bin Ali
dengan Abdullah bin Zuber sehingga mumbuat Husen dan Abdullah meninggalkan kota
Madinah. Adapun khalifah-khalifah terbesar Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi
Sofyan (661-680 M), Abd Al-Malik bin Marwan (685-750 M), Al-Walid
bin Abdul Malik (705-715), Umar bin Abdul Azis (717-720 M), Hasyim bin Abdul
Malik (720-743 M), puncak kejayaan Dinasti Bani Umayyah terjadi pada masa Umar
bin Abdul Aziz (717-720 M), setelah itu merupakan masa keruntuhannya.
(Muawiyah ibn Abi Sufyan) berkata
: Aku
tidak akan menggunakan pedang jika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan
mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut
sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas.
Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika
mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras.
Pernyataan
di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia
seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik
kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir
satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling
berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di
tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh
muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai
ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti
Umayyah.
Gaya
dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan
kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan
kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah
diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi
Heredity (Kerajaan/Dinasti), yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun
temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan
tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan
secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya
untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh
Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan
istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu
untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam
pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.
Karena
proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis
dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang
tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41
H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak
baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam.
Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh
khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi
khalifah berikutnya.
Orang
yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan
mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661
M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan
menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang
mempelopori proses dan sistem kerajaan/Dinasti dengan menunjuk Yazid sebagai
putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini
dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari
pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi
pada masa-masa sebelumnya.
Sejak
saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi
musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan,
para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama
untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem
pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar
demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain
terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah
juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta
kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap
harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih
kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga Raja seluruh penguasa Dinasti Bani
Umayyah kecualiUmar bin Abdul Aziz (717-720 M). Berikut nama-nama ke 14
khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa :
1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60
H/661-680 M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705
M)
6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715
M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99
H/715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720
M)
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105
H/720-724)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125
H/724-743 M)
11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750
M)
Para Sejarawan umumnya
sependapat bahwa para khalifah terbesar dari Daulah Bani Umayyah adalah Mu’awiyah,
Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.
C. Khalifah Terbesar dari Dinasti
Bani Umayyah.
1.1. Muawiyah bin Abi
Sufyan
Pada Masa Muawiyah inilah,
Ekspansi besar-besaran dilakukan, Muawiyah juga mengadakan dinas pos kilat
dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap ditiap pos. dan awal pendirian
sebuah sitem Dinasti. Ia juga berjasa mendirikan Kantor Cap (percetakan Mata
Uang), dan lain-lain.
Pada Masa pemerintahan
Muawiyah diraih kemajuan besar dalam perluasan wilayah, meskipun pada beberapa
tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mncolok adalah keberanianya
mengepung Kota Konstatinopel melalui Ekspedisi yang dipusatkan di Kota pelabuhan
Dardanela.
Muawiyah dibaiat oleh umat
islam di Kuffah (Madinah), Muawiyah wafat pada tahun 60 H, di Damaskus karena
sakit dan digantikan oleh anaknya, yazid yang telah ditetapkanya sebagai Putra
Mahkota sebelumya. Yazid tidak sekuat Ayahnya dalam memerintah, banyak
tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum
Syi’ah yang telah membaiat Husain sepeninggal Muawiyah. Terjadi perang di
Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu Rosulullah SAW itu. Yazid
menghadapi para pemberontak di Makkah dan Madinah dengan keras. Dinding Ka’bah
runtuh dikarenakan terkena lemparan Manjaniq , alat pelempar
batu ke arah lawan. Peristiwa itu merupakan aib besar pada masanya.
Yazid Wafat pada tahun 64 H,
setelah memerintah 4 Tahun dan digantikan oleh Anaknya, Muawiyah II bin Yazid.
1.2. Abdul Malik bin
Marwan
Khalifah Abdul Malik adalah
orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah. Ia dikenal
sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama dibidang Fiqh. Ia
telah berhasil mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasaan
Bani Umayyah dari segala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa
sebelumnya. Mulai dari gerakan separatis Abdullah bin Zubair di Hijaz,
pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, sampai kepada Aksi teror yang dilakukan
oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di wilayah Kuffah, dan pemberontakan yang
dipimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak. Ia juga menundukkan tentara Romawi
yang sengaja membuat keguncangan sendi-sendi pemerintahan Umayyah. Ia
memrintahkan pengguna’an Bahasa Arab sebagai bahasa administrasi diwilayah
Umayyah, yang sebelumnya masih bermacam-macam, seperti bahasa Yunani di Syam,
bahasa Persia di Persia, dan Bahasa Qibti di Mesir. Ia juga memerintahkan untuk
mencetakuang secara teratur, membangun beberaapa gedung, dan masjid serta saluran-saluran
air. Dan lain-lain.
Khalifah Abdul Malik bin
Marwan memerintah paling lama, yakni 21 tahun.
1.3. Umar bin Abdul
Aziz.
Adapun khalifah besar yang
ketiga adalah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahanya sangat singkat,
namun Umar bin Abdul Aziz merupakan “Lembaran Putih” Bani
Umayyah dan sebuah periode yang berdiri sendiri. Mempunyai karakter yang
terpengaruh oleh berbagai kebijaksana’an daulah Bani Umayyah yang banyak
disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih,
suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani
Umayyah.
Umar bin Abdul Aziz adalah putra Abdul
Aziz, gubernur Mesir. Umar bin Abdul Aziz pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur
rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi
khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam
kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah
diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat
sederhana, adil dan jujur. Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai
seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai
pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu
sekitar tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan.
Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan,
termasuk mengadakan perdamaian antara Amawiyah, Syi’ah serta
Khawarij, menghentikan peperangan dan mencegah caci maki terhadap Khalifah Ali
bin Abi Thalib. Ia mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya
untuk diserahkan hasil penjualanya ke Baitul Mal. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak
produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah
pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga
pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan
daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus
dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah.
Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain sesuai dengan keyakinan
dan kepercayaannya. Pajak diperingan,kedudukan mawali disejajarkan
dengan muslim Arab.
Umar lepas dari jabatannya pada tahun 101
H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana
terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik
dengan karakter kepemimpinannya.
Kekhalifahan Dinasti Umayyah
mulai mundur sepeninggal Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
D. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani
Umayyah.
Ekspansi/perluasan yang terhenti pada masa
khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dilanjutkan kembali oleh Dinasti
ini. Di zaman Muawiyah, Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah
timur,Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai
ke sungai oxus dan Afghanistan sampai
ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, dan Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian
dilanjutkan oleh kekhalifahan Abd al-Malik. Ia mengirimtentara menyebrangi sungai
Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan
dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai
ke Maltan.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah terkenal sebagai
era yang agresif karena perhatian terpusat kepada perluasan wilayah, dan
kemajuan besarpun hadir dengan berhasilnya perluasan wilayah tersebut.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan
di zaman Al-Walid
bin
Abdul Malik. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat
Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih
sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M.
setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin
ziyad, pemimpin pasukan Islam, menyeberangi selat yang memisahkan
antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu
tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq).
Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran
ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat
dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang
dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnyaKordova. Pada
saat itu, Pasukan
Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan
dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee.Serangan ini
dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau,
Poitiers.Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota
Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping
daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke
tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah
baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat
luas. Dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin
beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia,
Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, dan negeri-negeri yang
sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan, Pakistan, Purkmenia, dan Kirgiztan yang termasuk
sovyet (Rusia). Sampai akhirnya Dinasti ini dijuluki Dinasti Adi Kuasa.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, penaklukan militer di Zaman Umayyah
mencakup 3 Frontpenting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Front melawan bangsa Romawi di Asia Kecil dengan sasaran utama
pengepungan ke Ibu kota Konstantinopel, dan penyerangan ke Pulau-pulau dilaut
tengah.
Kedua, Front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika, pasukan
muslim juga menyebrangi Selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, Front Timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke
jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah
disebrang sungai jihun (Ammu Darya), sedangkan lainya ke arah
selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian Barat.
· Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Umayyah.
Meskipun kejayaan telah diraih
oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan
kelamahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar.
Kemunduran Bani Umayyah disebabkan oleh beberapa
faktor, yakni:
·
Penyebab langsung
runtuhnya kekuasaan Dinansti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Mutholib. Gerakan ini mendapat
dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah. Dan kaum Mawali (non-Arab)
yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah. Mereka orang non-Arab derajatnya
dianggap lebih rendah, misalkan ada tunjangan dari negara maka tunjangan mereka
harus lebih sedikit dari orang Arab.
·
Pada Masa
kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara (Bani Qais)
dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum islam semakin runcing.
Perselisian ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan
untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan
timur lainya merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu
inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperhatikan pada
Masa Bani Umayyah.
·
Kelalaian kholifah dalam urusan administratif dan
tidak adanya perhatian terhadap tugas-tugas Negara membuat Bani Uamayah sangat
tidak disukai. Para pejabatnya banyak yang koruposi, banyak yang mementingkan
diri sediri dan akibatnya pemerintahan menjadi lamban dan tidak efisien.
Persaingan antar suku yang sudah lama, tidak semakin membaik tetapi malah
semakin buruk banyak penentangan dari kaum Syiah yang tidak melupakan tragedi
Karbala. Ketidakacuan serta perlakuan kejam terhadap keluarga Nabi, kutukan
terhadap khutbah-khutbah dan propaganda anti Bani Ali memeperkuat Bani Umayyah.
Kaum Syiah memperoleh simpati rakyat karena kecintaan mereka yang sepenuh hati
terhadap keturunan Nabi.
·
Latar belakang
terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik
politik yang terjadi di Masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (Para Pengikut Ali) dan
Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di Masa
awal dan Akhir maupun secara tersembunyi seperti di Masa pertengahan kekuasaan
Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan
pemerintah.
·
Sistem pergantian
Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi Tradisi Arab,
yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturanya tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat dikalangan Anggota keluarga istana.
Beberapa penyebab tersebut
muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan
Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan Orang-orang Bani Abbasiyah
yang menjalar-jalar dan membunuh setiap orang dari Bani Umayyah yang
dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah
pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifahan
sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya
hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyah pada Masa
Khalifah Marwan bin Muhammad pada tahun 127 H/744 M, (Khalifah terakhir dari
Bani Umayyah).[6]
E. Peradaban Islam Pada Masa
Dinasti Bani Umayyah.
Dinasti Umayyah telah mampu
membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalamtatanan
sosial, politik, ekonomi, teknologi, maupun sosial kebudayaan. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam
dimasa kekuasaan Dinasti Bani Umayah didalam pembangunan
berbagai bidang antara lain:
Bidang Politik : Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru, untuk
memenuhi tuntutsn perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin
kompleks. Selain mengangkat Majelis Penasehat sebagai pendamping, Khalifah Bani
Umayyah dibantu oeh beberapa orang sekertaris untuk membantu pelaksanaan tugas,
yang meliputi :
1. Katib Ar-Rasa’il,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
administrasi dan surat-menyurat dengan para pembesar setempat.
2. Katib Al-Kharraj,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
penerimaan dan pengeluaran negara.
3. Katib Al-Jundi,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
berbagai hal yang berkaitan dengan ketentraman.
4. Katib Asy-Syurtah,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
5. Katib Al-Qudat,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan
peradilan dan hakim setempat.[7]
Bidang Sosial Budaya : Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antar bangsa-bangsa
muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki tradisin
yang luhur seperti ; Persia, Mesir, Eropa, dan sebagainya. Hubungan tersebut
lalu melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni dan ilmu
pengetahuan. Di Bidang Seni terutama seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah
mencatat suatu pencapaian yang gemilang, seperti Home Of The Rock
(Qubah Ash-Shakhra) di Yerussalem menjadi monumen terbaik yang hingga
kini tak henti-hentinya dikagumi orang. Perhatian terhadap seni sastra juga
meningkat dizaman ini, terbukti dengan lahirnya tokoh-tokoh besar seperti Al-Ahtal,
Farazdag, Jurair, dll.
Pada masa itu Abul
Aswad Ad-Duali (w. 681 M/62 H) Ulama’ (Bukan Sahabat), menyusun
gramatika Arab dengan memberi titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak
bertitik 9 (Wadi’un Nuqod ‘Alal Qulub). Usaha ini besar artinya
dalam mengembangkan dan memperluas bahasa Arab, serta memudahkan orang membaca,
mempelajari, dan menjaga barisan yang menentukan gerak kata dan bunyi suara
serta ayunan iramanya, hingga dapat diketahui maknanya. Kerajaan inipun telah
mulai menempatkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dengan mementingkan buku-buku
bahasa Yunani dan Kopti (Kristen Mesir).
Sudah ada titiknya tapi masih
banyak orang non-Arab yang masih belum bisa membaca, makaImam Kholil bin
Ahmad Al-Farohidi membuat Sakl, Fathah, kasroh, dhommah,
fathahtein, sukun,dll,(w. 165 H).
Abu ‘Ubaid Qosim bin Salam (w.
224 H), membuat Tajwid.
Dalam Bidang Peradaban Dinasti
Umayyah telah menemukan jalan yang lebih luas ke arah pengembangan dan
perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media
utamanya.
Menurut Jurji Zaidan (George
Zaidan) beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan
antara lain sebagai berikut:
1. Pengembangan Bahasa
Arab.
Para Penguasa Dinasti Umayyah
telah menjadikan Islam sebagai Daulah (Negara), kemudian dikuatkanya dan
dikembangkanlah Bahasa Arab dalam wilayah Kerajaan Islam. Upaya tersebut
dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai Bahasa Resmi dalam tata usaha
negara dan pemerintah sehingga pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan
bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa Romawi atau bahasa Persia di
daerah-daerah bekas jajahan mereka dan di Persia sendiri.
2. Marbad Kota Pusat
Kegiatan Ilmu.
Dinasti Umayyah juga
mendirikan sebuah Kota kecil sebagai pusat kegiatan IlmuPengetahuan dan
Kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan Marbad, kota
satelit dari Damaskus. Di Kota Marbad inilah berkumpul para pejangga, filsuf,
ulama, penyair, dan cendikiawan lainya, sehingga kota ini diberi gelar Ukadz-nya
Islam.
3. Ilmu Qiraat.
Ilmu Qiraat adalah ilmu seni
baca Al-Qur’an. Ilmu Qiraat merupakan ilmu Syariat tertua, yang telah dibina
sejak Zaman Khulafaur Rasyidin. Kemudian pada Masa Dinasti Umayyah
dikembangluaskan sehingga menjadi Cabang ilmu Syariat yang sangat penting. Pada
masa ini lahir para Ahli Qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w. 120 H)
dan Ashim bin Abi Nujud (w. 127 H).
4. Ilmu Tafsir.
Untuk memahami Al-qur’an
sebagai kitab Suci diperlukan interprestasi peahaman secara komprehensif.
5. Ilmu Hadits.
Ketika Kaum Muslimin telah
berusaha memahami Al-Qur’an, ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka
butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang disebut Hadits. Oleh karena itu
timbullah usaha untuk mengumpulkan Hadits, menyelidiki asal-usulnya, sehingga
akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan Ilmu Hadits.
Diantara para Ahli Hadits pada Masa Dinasti Umayyah adalah Al-Auzai Abdurrahman
bin Amru (w. 159 H), Hasan Basri (w. 110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), dan
Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil (w. 104 H).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz
memanggil salah satu orang yang bernama Shihabuddin Romahurmuuzi, untuk
membuat ilmu yang digunakan untuk menyeleksi Hadits, namanya : ilmu Mustholahul
Hadits,
6. Ilmu Fiqh.
Setelah Islam menjadi Daulah,
maka para penguasa sangat membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk menjadi
pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka kembali kepada Al-Qur’an
dan Hadits dan mengeluarkan Syariat dari kedua sumber tersebut untuk mengatur
pemerintahan dan memimpin rakyat. Al-qur’an adalah dasar Fiqh Islam, dan pada
zaman ini ilmu Fiqh telah menjadi satu cabang ilmu Syariat yang berdiri
sendiri. Diantara ahli Fiqh yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin
Abdurrahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
7. Ilmu Nahwu.
Pada Masa Dinasti Umayyah
karena wilayahnya berkembang secara luas, khususnya ke wilayah di luar Arab,
maka ilmu Nahwu sangat diperlukan. Hal tersebut disebabkan pula bertambahnya
orang-orang Ajam (Non-Arab) yang masuk Islam, sehingga
keberadaan Bahasa Arab sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, dibukukanlah ilmu
Nahwu dan berkembanglah satu cabang ilmu yang penting untuk mempelajari
berbagai ilmu Agama Islam.[9]
Contoh, membaca : Innallaha
barii’um minal musyriki wa Rosuulih, (Salah), yang artinya:“sesungguhnya
Allah tidak melindungi orang Musyrik dan tidak melindungi Rosulullah”. Yang benar: “Innallaha Barii’um minal Musyriki wa
Rosuuluh”, yang artinya: sesungguhnya Allah tidak melindungi Orang
Musyrik, dan Rosulullah pun tidak melindungi (Kata: wa Rosuuluh).
8. Ilmu Jughrafi dan
Tarikh.
Jughrafi dan Tarikh pada Masa
Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu
Tarikh (ilmu Sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya.
Adanya pengembangan dakwah islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh
menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu Jughrafi (Ilmu Bumi atau Geografi),
demikian pula ilmu tarikh. Ilmu Jughrafi dan Ilmu Tarikh lahir pada masa
Dinasti Umayyah, barulah berkembang menjadi suatu ilmu yang betul-betul berdiri
sendiri pada masa ini.
9. Usaha
Penerjemahan.
Untuk kepentingan pembinaan
Dakwah Islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah dimulai pula penerjemahan buku-buku
ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian,
jelaslah bahwa gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru
berkembang secara pesat pada zaman Dinasti Abbasiyah. Adapun yang mula-mula
melakukan usaha penerjemahan yaitu Khalid bin Yazid, seorang pangeran yang
sangat cerdas dan ambisius.
- Masa kepemimpinan Muawiyah telah
mendirikan dinas pos dan tempat-tempat
dengan menyediakan kuda yang lengkap
dengan peralatannya di sepanjang jalan.
- Menertibkan angkatan
bersenjata. Masa pemerintahan Muawiyah tergolong cemerlang. Ia berhasil
menciptakan keamanan dalam negeri dengan membasmi para pemberontak.
- Muawiyah bin Sufyan berhasil mengantarkan negara dan rakyatnya mencapai
kemakmuran dan kekayaan yang melimpah.
- Pencetakan mata uang oleh Abdul
Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang
dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun
659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
- Jabatan khusus bagi seorang Hakim (
Qodli) menjadi profesi sendiri.
- Keberhasilan kholifah Abdul
Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam
dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi
administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh
putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
- Membangun panti-panti untuk orang
cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap
oleh Negara pada waktu itu.
- Membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya.
- Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung
pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
- Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu (Abu Aswat Ad-du’aili), Sharaf, Balaghah, bayan, badi’,
Isti’arah dan
sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar
Arab(Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an
dan As-sunnah).
Pada masa Bani Umayah ini merupakan peletak dasar
pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abasiyah merupakan puncak dari peradaban
Islam. Pada masa Bani Umayah Ilmu Naqliyah mulai berkembang.
Perkembangan yang lebih menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu
hadist. Khalifah Umar Bin Abdul Azis sangat menaruh
perhatian yang besar kepada pengumpulan Hadist. Pengumpulan hadist
dilaksanakan oleh ‘Asim al-Anshari. Pada masa ini muncul ahli-ahli
hadist sepertiAbu bakar Muhammad bin Muslim bin Abdillah al-Zuhri dan Hasan
Basri. Disamping itu muncul pulailmu tata bahasa Arab (Nahwu),
Sibaweih menyusun Kitab tersebut untuk mempelajari bahasa Arab
bagi orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Ini muncul karena wilayah Islam
telah berkembang ke luarJazirah Arab. Orang belum mengenal bahasa
Arab, apalagi khalifah Abdul Malik bin Marwanmengerakkan Politik
Arabisasi.
Ilmu Aqliyah pada masa ini mulai dikenalkan.
Khalifah Muawiyah memerintahkan supaya diterjemahkan
karya-karya Bangsa
Grek (Yunani) yang mengandung bermacam-macam ilmu. Dengan
demikkian orang Islam pada masa ini mulai mengetahui ilmu kedokteran,
ilmu Kalam, Seni bangun dan sebagainya. Ilmu Aqliyah pada
masa Khalifah Muawiyah baru bertingkat permulaan dan pengenalan.
Tingkat perkembangan adalah pada masa khalifah Abdul Malik.[10]
Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa
pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama
peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari
cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan
teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan system
pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah
mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan
dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan
sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.
DINASTI UMAYYAH
A. Pendirian Dinasti Bani
Umayyah.
1.1. Asal Mula Dinasti Bani
Umayyah.
Nama Dinasti Umayyah
dinisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdu Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah
Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni
keluarga bangsawan, cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra.
Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah
mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayyah selalu bersaing dengan Pamannya
yaitu Hasyim bin Abdu Manaf dalam
memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.[1] Sesudah datang Agama Islam persaingan yang dulunya
merebut kehormatan menjadi permusuhan yang
lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosululloh,
sebaliknya Bani Hasim menjadi penyokong dan pelindung
Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam atau yang belum. Bani Umayyah adalah
orang-orang yang terakhir masuk agama Islam pada masa Rosululloh dan salah satu
musuh yang paling keras sebelum mereka masuk Islam. Setelah itu
sekumpulan Bani Umayyah masuk islam.
Jadi, nama Dinasti Bani
Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd Al- Syam, kakek Abu Sofyan. Sedangkan
Muawiyah bin Abi Sofyan berasal dari keturunan Bani Umayyah , yang berasal dari
suku Quraisy.
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah
dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh
tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M, sa’at khalifah Utsman bin Affan membaca Al-qur’an. Pada saat itu khalifah Utsman bin
Affan dianggap terlalu Nepotisme(mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau
gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Awal kedaulatan bagi Dinasti Bani Umayyah adalah sepeninggal
Khalifah Utsman bin Affan, lalu dipimpin kholifah Ali bin Abi Thalib, dan Hasan bin
Ali. Barulah Dinasti Bani Umayyah muncul, dengan dipimpin oleh
khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan yang dulunya gubenur
Syam dan tampil sebagai pemimpin Islam yang kuat.
Sebelum Dinasti Bani Umayyah
muncul sebagai khalifah. Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar
seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi Ali
bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan.
Permintaan itu di pertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan pada akhirnya Ali bin Abi
Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para
tokoh besar tadi yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam merasa
tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin
Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali
pada tahun 656
M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap
kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang
paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin
Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh
masyarakat Madinah dan sekelompok masyarakat
pendukung dari Kuffah, ternyata ditentang oleh sekelompok
orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur
Damaskus dan Syiria, serta Marwan
bin Hakam yang ketika pada masa Khalifah Utsman bin Affan, menjabat sebagai
sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah
Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan
membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan
sekutunya terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalibmenimbulkan konflik yang berkepanjangan
antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran diShiffin dan
dikenal dengan perang Siffin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu
yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dengan Ali
bin Abi Talib di
tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1
Shafar tahun 37 H/657 M. Muawiyah tidak menginginkan adanya
pengangkatan kepemimpinan Umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah wafatnya khalifah Utsman bin
Affan, masyarakat muslim baik yang ada diMadinah , Kuffah, Bashrah
dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman.
Kenyataan ini membuat Muawiyah tidak punya pilihan lain, kecuali harus
mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala
perintahnya. Tetapi Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut
karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti
seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan pada waktu
itu.
Muawiyah mengancam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan
Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang
dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Namun Khalifah
Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu
setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalamNegeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian
kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah,
Bashra dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang
dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti
Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota
Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika
bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk
bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di
Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak
menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja
mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari
krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi
Thalib berada di balik kasus pembunuhan Khalifah Utsman
bin Affan.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar,
karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya yaitu Hasan
dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan
massa yang mendatangi kediaman khalifah Utsman bin Affan.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di
curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga
Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara
mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba
memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah
Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal
dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah
gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di
anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir.
Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka
menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para
pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana
yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin
Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas
permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan
posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman
bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini
menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebijakan
yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan
demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan.
Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang dianggap sangat
sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah
marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera melepaskan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah
Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di
selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi
dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman bin Affan terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa
kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib, antara lainMuawiyah bin Abi Sufyan sebagai
gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman
gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta
masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan
pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan
kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan
gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan
pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman
bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.
1.2. Usaha
Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal
21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat
sedang beribadah di masjid Kuffah, oleh kelompok khawarijyaitu Abdurrahman
bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan
umat Islam khususnya para pengikut setia khalifah Ali bin Abi
Thalib yaitu Syi’ah. Oleh karena itu, tidak lama berselang
umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib (Syi’ah) melakukan
sumpah setia (bai’at) atasHasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti khalifah Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak
orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada
sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu.
Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian
diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib (Syi’ah).
Pengangkatan Hasan bin Ali di
hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan
dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada
saat itu Muawiyyahyang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga
menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri
sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia
Islam pada saat itu.
Namun Hasan bin
Ali sosok
yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk
menjadi pemimpin Negara (khalifah). Ia lebih memilih mementingkan persatuan
umat. Hal ini dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk
tidak melakukan bai’at terhadap Hasanbin Ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik,
termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin
Abi Sufyan.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan
adalah bapak pendiri Dinasti Umayyah. Dialah tokoh pembangunan yang besar.
Namanya disejajarkan dalam deretan Khulafaur Rasyidin. Bahkan kesalahanya yang
menghianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat (demokrasi) dengan
diganti sistem Monarchi, dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan
kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan. Mu’awiyah mendapat kursi
kekhalifahan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib berdamai denganya pada tahun
41 H. Umat Islam sebagianya membaiat Hasan setelah Ayahnya itu wafat. Namun,
Hasan menyadari kelemahanya sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan
umat kepada Mu’awiyah sehingga tahun itu dinamakan ‘amul jama’ah (Tahun
Persatuan).
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, khalifahHasan bin Ali tidak
mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah.
Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang
berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan
syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah bin Abi Sufyan dengan syarat antara lain:
1. Agar Muawiyah menyerahkan Harat
Baitulmal kepadanya
untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2. Agar Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan
hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalibbeserta keluarganya.
3. Agar Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan
daerah dari Bijinad kepada Hasan bin Ali setiap
tahun.
5. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatu apapun
dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah
menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin
Ali mengutus seorang shahabatnya bernamaAbdullah bin Al-Harits bin
Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah.
Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di
ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin
Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan
sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi
oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan
darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin
kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku
tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam Berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus,
hegemonikdan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya
dari tangan pemimpin sebelumnya yaitu Hasan bin
Ali.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini
menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di
bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada
Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan
ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih
cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari
Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan
secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak
henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya
secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada
di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah Dinasti baru yaitu Dinasti Bani
Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara
meniru gaya kepemimpinan Raja-Raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada
anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem
pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” (Musyawaroh) untuk
menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa
kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah
dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap
terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein bin Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai
khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke
Kufah atas permintaan golongan syi’ah yang ada di Irak. Umat islam Di
daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan
dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
B. Pola Pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah.
Dinasti Bani Umaiyah berkuasa
selama kurang lebih 90 tahun (41- 132 H/661-750 M). Setelah Muawiyah memindahkan pusat pemerintahan
dari kota Madinah (Kuffah ke Damaskus, maka pemerintahan
Muawiyah berubah bentuk dari Theo-Demokrasi menjadi Manarchi
(kerajaan/dinasti) hal ini berlaku semenjak ia mengangkat putranya Yazid
sebagai putra mahkota. Kebajikan yang dilakukan oleh Muawiyah ini dipangaruhi
oleh tradisi yang terdapat dibekas wilayah kerajaan Bizantium yang sudah lama
dikuasai oleh Muawiyah, semenjak dia diangkat menjadi Gubernur oleh Umar
Ibn Khatab di Suriah. Setelah Muawiyah meninggal dunia orang-orang keterunan
Umayyah mengangkat Yazid bin Muawiyah menjadi Khalifah sebagai pengganti
ayahnya. semenjak itu sistim pemerintahan Bani umayyah memakai sistim turun-temurun sampai
kepada Khalifah Marwan bin Muhammad. Marwan bin Muhammad tewas dalam
pertempuran melawan pasukan Abdul Abbas As-Safah dari Bani Abas pada tahun 750
M. dengan demikian berakhir Dinasti Bani Umayyah dan diganti oleh Dinasti Bani
Abbasiyah setelah
memerintah lebih kurang 90 tahun.
Atas perubahan bentuk pemerintahan dari
demokrasi ke munarchi, menimbulkan pertentangan dua tokoh, yakni Husen bin Ali
dengan Abdullah bin Zuber sehingga mumbuat Husen dan Abdullah meninggalkan kota
Madinah. Adapun khalifah-khalifah terbesar Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi
Sofyan (661-680 M), Abd Al-Malik bin Marwan (685-750 M), Al-Walid
bin Abdul Malik (705-715), Umar bin Abdul Azis (717-720 M), Hasyim bin Abdul
Malik (720-743 M), puncak kejayaan Dinasti Bani Umayyah terjadi pada masa Umar
bin Abdul Aziz (717-720 M), setelah itu merupakan masa keruntuhannya.
(Muawiyah ibn Abi Sufyan) berkata
: Aku
tidak akan menggunakan pedang jika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan
mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut
sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas.
Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika
mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras.
Pernyataan
di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia
seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik
kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir
satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling
berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di
tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh
muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai
ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti
Umayyah.
Gaya
dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan
kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan
kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah
diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi
Heredity (Kerajaan/Dinasti), yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun
temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan
tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan
secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya
untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh
Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan
istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu
untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam
pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.
Karena
proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis
dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang
tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41
H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak
baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam.
Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh
khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi
khalifah berikutnya.
Orang
yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan
mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661
M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan
menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang
mempelopori proses dan sistem kerajaan/Dinasti dengan menunjuk Yazid sebagai
putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini
dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari
pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi
pada masa-masa sebelumnya.
Sejak
saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi
musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan,
para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama
untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem
pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar
demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain
terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah
juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta
kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap
harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih
kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga Raja seluruh penguasa Dinasti Bani
Umayyah kecualiUmar bin Abdul Aziz (717-720 M). Berikut nama-nama ke 14
khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa :
1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60
H/661-680 M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705
M)
6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715
M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99
H/715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720
M)
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105
H/720-724)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125
H/724-743 M)
11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750
M)
Para Sejarawan umumnya
sependapat bahwa para khalifah terbesar dari Daulah Bani Umayyah adalah Mu’awiyah,
Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.
C. Khalifah Terbesar dari Dinasti
Bani Umayyah.
1.1. Muawiyah bin Abi
Sufyan
Pada Masa Muawiyah inilah,
Ekspansi besar-besaran dilakukan, Muawiyah juga mengadakan dinas pos kilat
dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap ditiap pos. dan awal pendirian
sebuah sitem Dinasti. Ia juga berjasa mendirikan Kantor Cap (percetakan Mata
Uang), dan lain-lain.
Pada Masa pemerintahan
Muawiyah diraih kemajuan besar dalam perluasan wilayah, meskipun pada beberapa
tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mncolok adalah keberanianya
mengepung Kota Konstatinopel melalui Ekspedisi yang dipusatkan di Kota pelabuhan
Dardanela.
Muawiyah dibaiat oleh umat
islam di Kuffah (Madinah), Muawiyah wafat pada tahun 60 H, di Damaskus karena
sakit dan digantikan oleh anaknya, yazid yang telah ditetapkanya sebagai Putra
Mahkota sebelumya. Yazid tidak sekuat Ayahnya dalam memerintah, banyak
tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum
Syi’ah yang telah membaiat Husain sepeninggal Muawiyah. Terjadi perang di
Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu Rosulullah SAW itu. Yazid
menghadapi para pemberontak di Makkah dan Madinah dengan keras. Dinding Ka’bah
runtuh dikarenakan terkena lemparan Manjaniq , alat pelempar
batu ke arah lawan. Peristiwa itu merupakan aib besar pada masanya.
Yazid Wafat pada tahun 64 H,
setelah memerintah 4 Tahun dan digantikan oleh Anaknya, Muawiyah II bin Yazid.
1.2. Abdul Malik bin
Marwan
Khalifah Abdul Malik adalah
orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah. Ia dikenal
sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama dibidang Fiqh. Ia
telah berhasil mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasaan
Bani Umayyah dari segala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa
sebelumnya. Mulai dari gerakan separatis Abdullah bin Zubair di Hijaz,
pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, sampai kepada Aksi teror yang dilakukan
oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di wilayah Kuffah, dan pemberontakan yang
dipimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak. Ia juga menundukkan tentara Romawi
yang sengaja membuat keguncangan sendi-sendi pemerintahan Umayyah. Ia
memrintahkan pengguna’an Bahasa Arab sebagai bahasa administrasi diwilayah
Umayyah, yang sebelumnya masih bermacam-macam, seperti bahasa Yunani di Syam,
bahasa Persia di Persia, dan Bahasa Qibti di Mesir. Ia juga memerintahkan untuk
mencetakuang secara teratur, membangun beberaapa gedung, dan masjid serta saluran-saluran
air. Dan lain-lain.
Khalifah Abdul Malik bin
Marwan memerintah paling lama, yakni 21 tahun.
1.3. Umar bin Abdul
Aziz.
Adapun khalifah besar yang
ketiga adalah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahanya sangat singkat,
namun Umar bin Abdul Aziz merupakan “Lembaran Putih” Bani
Umayyah dan sebuah periode yang berdiri sendiri. Mempunyai karakter yang
terpengaruh oleh berbagai kebijaksana’an daulah Bani Umayyah yang banyak
disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih,
suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani
Umayyah.
Umar bin Abdul Aziz adalah putra Abdul
Aziz, gubernur Mesir. Umar bin Abdul Aziz pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur
rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi
khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam
kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah
diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat
sederhana, adil dan jujur. Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai
seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai
pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu
sekitar tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan.
Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan,
termasuk mengadakan perdamaian antara Amawiyah, Syi’ah serta
Khawarij, menghentikan peperangan dan mencegah caci maki terhadap Khalifah Ali
bin Abi Thalib. Ia mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya
untuk diserahkan hasil penjualanya ke Baitul Mal. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak
produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah
pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga
pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan
daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus
dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah.
Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain sesuai dengan keyakinan
dan kepercayaannya. Pajak diperingan,kedudukan mawali disejajarkan
dengan muslim Arab.
Umar lepas dari jabatannya pada tahun 101
H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana
terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik
dengan karakter kepemimpinannya.
Kekhalifahan Dinasti Umayyah
mulai mundur sepeninggal Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
D. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani
Umayyah.
Ekspansi/perluasan yang terhenti pada masa
khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dilanjutkan kembali oleh Dinasti
ini. Di zaman Muawiyah, Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah
timur,Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai
ke sungai oxus dan Afghanistan sampai
ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, dan Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian
dilanjutkan oleh kekhalifahan Abd al-Malik. Ia mengirimtentara menyebrangi sungai
Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan
dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai
ke Maltan.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah terkenal sebagai
era yang agresif karena perhatian terpusat kepada perluasan wilayah, dan
kemajuan besarpun hadir dengan berhasilnya perluasan wilayah tersebut.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan
di zaman Al-Walid
bin
Abdul Malik. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat
Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih
sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M.
setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin
ziyad, pemimpin pasukan Islam, menyeberangi selat yang memisahkan
antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu
tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq).
Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran
ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat
dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang
dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnyaKordova. Pada
saat itu, Pasukan
Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan
dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee.Serangan ini
dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau,
Poitiers.Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota
Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping
daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke
tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah
baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat
luas. Dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin
beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia,
Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, dan negeri-negeri yang
sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan, Pakistan, Purkmenia, dan Kirgiztan yang termasuk
sovyet (Rusia). Sampai akhirnya Dinasti ini dijuluki Dinasti Adi Kuasa.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, penaklukan militer di Zaman Umayyah
mencakup 3 Frontpenting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Front melawan bangsa Romawi di Asia Kecil dengan sasaran utama
pengepungan ke Ibu kota Konstantinopel, dan penyerangan ke Pulau-pulau dilaut
tengah.
Kedua, Front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika, pasukan
muslim juga menyebrangi Selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, Front Timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke
jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah
disebrang sungai jihun (Ammu Darya), sedangkan lainya ke arah
selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian Barat.
· Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Umayyah.
Meskipun kejayaan telah diraih
oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan
kelamahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar.
Kemunduran Bani Umayyah disebabkan oleh beberapa
faktor, yakni:
·
Penyebab langsung
runtuhnya kekuasaan Dinansti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Mutholib. Gerakan ini mendapat
dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah. Dan kaum Mawali (non-Arab)
yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah. Mereka orang non-Arab derajatnya
dianggap lebih rendah, misalkan ada tunjangan dari negara maka tunjangan mereka
harus lebih sedikit dari orang Arab.
·
Pada Masa
kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara (Bani Qais)
dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum islam semakin runcing.
Perselisian ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan
untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan
timur lainya merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu
inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperhatikan pada
Masa Bani Umayyah.
·
Kelalaian kholifah dalam urusan administratif dan
tidak adanya perhatian terhadap tugas-tugas Negara membuat Bani Uamayah sangat
tidak disukai. Para pejabatnya banyak yang koruposi, banyak yang mementingkan
diri sediri dan akibatnya pemerintahan menjadi lamban dan tidak efisien.
Persaingan antar suku yang sudah lama, tidak semakin membaik tetapi malah
semakin buruk banyak penentangan dari kaum Syiah yang tidak melupakan tragedi
Karbala. Ketidakacuan serta perlakuan kejam terhadap keluarga Nabi, kutukan
terhadap khutbah-khutbah dan propaganda anti Bani Ali memeperkuat Bani Umayyah.
Kaum Syiah memperoleh simpati rakyat karena kecintaan mereka yang sepenuh hati
terhadap keturunan Nabi.
·
Latar belakang
terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik
politik yang terjadi di Masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (Para Pengikut Ali) dan
Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di Masa
awal dan Akhir maupun secara tersembunyi seperti di Masa pertengahan kekuasaan
Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan
pemerintah.
·
Sistem pergantian
Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi Tradisi Arab,
yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturanya tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat dikalangan Anggota keluarga istana.
Beberapa penyebab tersebut
muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan
Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan Orang-orang Bani Abbasiyah
yang menjalar-jalar dan membunuh setiap orang dari Bani Umayyah yang
dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah
pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifahan
sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya
hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyah pada Masa
Khalifah Marwan bin Muhammad pada tahun 127 H/744 M, (Khalifah terakhir dari
Bani Umayyah).[6]
E. Peradaban Islam Pada Masa
Dinasti Bani Umayyah.
Dinasti Umayyah telah mampu
membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalamtatanan
sosial, politik, ekonomi, teknologi, maupun sosial kebudayaan. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam
dimasa kekuasaan Dinasti Bani Umayah didalam pembangunan
berbagai bidang antara lain:
Bidang Politik : Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru, untuk
memenuhi tuntutsn perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin
kompleks. Selain mengangkat Majelis Penasehat sebagai pendamping, Khalifah Bani
Umayyah dibantu oeh beberapa orang sekertaris untuk membantu pelaksanaan tugas,
yang meliputi :
1. Katib Ar-Rasa’il,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
administrasi dan surat-menyurat dengan para pembesar setempat.
2. Katib Al-Kharraj,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
penerimaan dan pengeluaran negara.
3. Katib Al-Jundi,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
berbagai hal yang berkaitan dengan ketentraman.
4. Katib Asy-Syurtah,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
5. Katib Al-Qudat,
sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan
peradilan dan hakim setempat.[7]
Bidang Sosial Budaya : Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antar bangsa-bangsa
muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki tradisin
yang luhur seperti ; Persia, Mesir, Eropa, dan sebagainya. Hubungan tersebut
lalu melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni dan ilmu
pengetahuan. Di Bidang Seni terutama seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah
mencatat suatu pencapaian yang gemilang, seperti Home Of The Rock
(Qubah Ash-Shakhra) di Yerussalem menjadi monumen terbaik yang hingga
kini tak henti-hentinya dikagumi orang. Perhatian terhadap seni sastra juga
meningkat dizaman ini, terbukti dengan lahirnya tokoh-tokoh besar seperti Al-Ahtal,
Farazdag, Jurair, dll.
Pada masa itu Abul
Aswad Ad-Duali (w. 681 M/62 H) Ulama’ (Bukan Sahabat), menyusun
gramatika Arab dengan memberi titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak
bertitik 9 (Wadi’un Nuqod ‘Alal Qulub). Usaha ini besar artinya
dalam mengembangkan dan memperluas bahasa Arab, serta memudahkan orang membaca,
mempelajari, dan menjaga barisan yang menentukan gerak kata dan bunyi suara
serta ayunan iramanya, hingga dapat diketahui maknanya. Kerajaan inipun telah
mulai menempatkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dengan mementingkan buku-buku
bahasa Yunani dan Kopti (Kristen Mesir).
Sudah ada titiknya tapi masih
banyak orang non-Arab yang masih belum bisa membaca, makaImam Kholil bin
Ahmad Al-Farohidi membuat Sakl, Fathah, kasroh, dhommah,
fathahtein, sukun,dll,(w. 165 H).
Abu ‘Ubaid Qosim bin Salam (w.
224 H), membuat Tajwid.
Dalam Bidang Peradaban Dinasti
Umayyah telah menemukan jalan yang lebih luas ke arah pengembangan dan
perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media
utamanya.
Menurut Jurji Zaidan (George
Zaidan) beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan
antara lain sebagai berikut:
1. Pengembangan Bahasa
Arab.
Para Penguasa Dinasti Umayyah
telah menjadikan Islam sebagai Daulah (Negara), kemudian dikuatkanya dan
dikembangkanlah Bahasa Arab dalam wilayah Kerajaan Islam. Upaya tersebut
dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai Bahasa Resmi dalam tata usaha
negara dan pemerintah sehingga pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan
bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa Romawi atau bahasa Persia di
daerah-daerah bekas jajahan mereka dan di Persia sendiri.
2. Marbad Kota Pusat
Kegiatan Ilmu.
Dinasti Umayyah juga
mendirikan sebuah Kota kecil sebagai pusat kegiatan IlmuPengetahuan dan
Kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan Marbad, kota
satelit dari Damaskus. Di Kota Marbad inilah berkumpul para pejangga, filsuf,
ulama, penyair, dan cendikiawan lainya, sehingga kota ini diberi gelar Ukadz-nya
Islam.
3. Ilmu Qiraat.
Ilmu Qiraat adalah ilmu seni
baca Al-Qur’an. Ilmu Qiraat merupakan ilmu Syariat tertua, yang telah dibina
sejak Zaman Khulafaur Rasyidin. Kemudian pada Masa Dinasti Umayyah
dikembangluaskan sehingga menjadi Cabang ilmu Syariat yang sangat penting. Pada
masa ini lahir para Ahli Qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w. 120 H)
dan Ashim bin Abi Nujud (w. 127 H).
4. Ilmu Tafsir.
Untuk memahami Al-qur’an
sebagai kitab Suci diperlukan interprestasi peahaman secara komprehensif.
5. Ilmu Hadits.
Ketika Kaum Muslimin telah
berusaha memahami Al-Qur’an, ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka
butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang disebut Hadits. Oleh karena itu
timbullah usaha untuk mengumpulkan Hadits, menyelidiki asal-usulnya, sehingga
akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan Ilmu Hadits.
Diantara para Ahli Hadits pada Masa Dinasti Umayyah adalah Al-Auzai Abdurrahman
bin Amru (w. 159 H), Hasan Basri (w. 110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), dan
Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil (w. 104 H).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz
memanggil salah satu orang yang bernama Shihabuddin Romahurmuuzi, untuk
membuat ilmu yang digunakan untuk menyeleksi Hadits, namanya : ilmu Mustholahul
Hadits,
6. Ilmu Fiqh.
Setelah Islam menjadi Daulah,
maka para penguasa sangat membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk menjadi
pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka kembali kepada Al-Qur’an
dan Hadits dan mengeluarkan Syariat dari kedua sumber tersebut untuk mengatur
pemerintahan dan memimpin rakyat. Al-qur’an adalah dasar Fiqh Islam, dan pada
zaman ini ilmu Fiqh telah menjadi satu cabang ilmu Syariat yang berdiri
sendiri. Diantara ahli Fiqh yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin
Abdurrahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
7. Ilmu Nahwu.
Pada Masa Dinasti Umayyah
karena wilayahnya berkembang secara luas, khususnya ke wilayah di luar Arab,
maka ilmu Nahwu sangat diperlukan. Hal tersebut disebabkan pula bertambahnya
orang-orang Ajam (Non-Arab) yang masuk Islam, sehingga
keberadaan Bahasa Arab sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, dibukukanlah ilmu
Nahwu dan berkembanglah satu cabang ilmu yang penting untuk mempelajari
berbagai ilmu Agama Islam.[9]
Contoh, membaca : Innallaha
barii’um minal musyriki wa Rosuulih, (Salah), yang artinya:“sesungguhnya
Allah tidak melindungi orang Musyrik dan tidak melindungi Rosulullah”. Yang benar: “Innallaha Barii’um minal Musyriki wa
Rosuuluh”, yang artinya: sesungguhnya Allah tidak melindungi Orang
Musyrik, dan Rosulullah pun tidak melindungi (Kata: wa Rosuuluh).
8. Ilmu Jughrafi dan
Tarikh.
Jughrafi dan Tarikh pada Masa
Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu
Tarikh (ilmu Sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya.
Adanya pengembangan dakwah islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh
menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu Jughrafi (Ilmu Bumi atau Geografi),
demikian pula ilmu tarikh. Ilmu Jughrafi dan Ilmu Tarikh lahir pada masa
Dinasti Umayyah, barulah berkembang menjadi suatu ilmu yang betul-betul berdiri
sendiri pada masa ini.
9. Usaha
Penerjemahan.
Untuk kepentingan pembinaan
Dakwah Islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah dimulai pula penerjemahan buku-buku
ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian,
jelaslah bahwa gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru
berkembang secara pesat pada zaman Dinasti Abbasiyah. Adapun yang mula-mula
melakukan usaha penerjemahan yaitu Khalid bin Yazid, seorang pangeran yang
sangat cerdas dan ambisius.
- Masa kepemimpinan Muawiyah telah
mendirikan dinas pos dan tempat-tempat
dengan menyediakan kuda yang lengkap
dengan peralatannya di sepanjang jalan.
- Menertibkan angkatan
bersenjata. Masa pemerintahan Muawiyah tergolong cemerlang. Ia berhasil
menciptakan keamanan dalam negeri dengan membasmi para pemberontak.
- Muawiyah bin Sufyan berhasil mengantarkan negara dan rakyatnya mencapai
kemakmuran dan kekayaan yang melimpah.
- Pencetakan mata uang oleh Abdul
Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang
dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun
659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
- Jabatan khusus bagi seorang Hakim (
Qodli) menjadi profesi sendiri.
- Keberhasilan kholifah Abdul
Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam
dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi
administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh
putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
- Membangun panti-panti untuk orang
cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap
oleh Negara pada waktu itu.
- Membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya.
- Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung
pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
- Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu (Abu Aswat Ad-du’aili), Sharaf, Balaghah, bayan, badi’,
Isti’arah dan
sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar
Arab(Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an
dan As-sunnah).
Pada masa Bani Umayah ini merupakan peletak dasar
pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abasiyah merupakan puncak dari peradaban
Islam. Pada masa Bani Umayah Ilmu Naqliyah mulai berkembang.
Perkembangan yang lebih menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu
hadist. Khalifah Umar Bin Abdul Azis sangat menaruh
perhatian yang besar kepada pengumpulan Hadist. Pengumpulan hadist
dilaksanakan oleh ‘Asim al-Anshari. Pada masa ini muncul ahli-ahli
hadist sepertiAbu bakar Muhammad bin Muslim bin Abdillah al-Zuhri dan Hasan
Basri. Disamping itu muncul pulailmu tata bahasa Arab (Nahwu),
Sibaweih menyusun Kitab tersebut untuk mempelajari bahasa Arab
bagi orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Ini muncul karena wilayah Islam
telah berkembang ke luarJazirah Arab. Orang belum mengenal bahasa
Arab, apalagi khalifah Abdul Malik bin Marwanmengerakkan Politik
Arabisasi.
Ilmu Aqliyah pada masa ini mulai dikenalkan.
Khalifah Muawiyah memerintahkan supaya diterjemahkan
karya-karya Bangsa
Grek (Yunani) yang mengandung bermacam-macam ilmu. Dengan
demikkian orang Islam pada masa ini mulai mengetahui ilmu kedokteran,
ilmu Kalam, Seni bangun dan sebagainya. Ilmu Aqliyah pada
masa Khalifah Muawiyah baru bertingkat permulaan dan pengenalan.
Tingkat perkembangan adalah pada masa khalifah Abdul Malik.[10]
Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa
pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama
peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari
cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan
teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan system
pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah
mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan
dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan
sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.